Lanjut ke konten

Vaksin COVID-19

Penulis: Bayu Satria Wiratama

Apa itu vaksin?

Vaksin adalah sebuah zat atau senyawa yang berfungsi menimbulkan kekebalan aktif pada manusia terhadap suatu penyakit tertentu.

Apa itu vaksinasi dan imunisasi?

Vaksinasi adalah proses memasukkan vaksin kedalam tubuh manusia untuk melatih sistem kekebalan tubuh manusia secara aktif.

Imunisasi adalah proses menimbulkan kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit yang biasanya dicapai dengan menggunakan vaksin.

Bagaimana cara kerja vaksin?

Gambar dibawah menjelaskan cara kerja vaksin secara singkat, yaitu dengan mengenalkan tubuh terhadap penyebab penyakit dan menimbulkan kekebalan tubuh terhadap penyakit tersebut. Kekebalan tubuh yang ditimbulkan oleh vaksin biasanya bertahan lebih lama daripada kekebalan yang ditimbulkan ketika seseorang pernah terjangkit penyakit tersebut.

Apakah yang dimaksud dengan efikasi vaksin?

Efikasi vaksin adalah kemampuan vaksin dalam mencegah penyakit dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberikan vaksin di dalam kondisi yang optimal atau dalam hal ini adalah dalam kondisi penelitian uji klinis dan bukan dalam kondisi kehidupan masyarakat sehari-hari. Sedangkan kemampuan vaksin dalam mencegah penyakit dalam kondisi non optimal (diluar penelitian uji klinis) atau dalam kondisi kehidupan sehari-hari disebut dengan efektifitas. 

Apakah maksud dari angka efikasi vaksin?

Sebagian vaksin COVID-19 yang saat ini sedang dalam tahap uji klinis fase 3 sudah memiliki hasil efikasi (sementara) dari laporan analisis sementara atau interim analysis report. Sebagai contoh, vaksin Sinovac memiliki efikasi sekitar 65%, vaksin Pfizer memiliki efikasi 95%, Vaksin moderna memiliki efikasi 94,5%, dan vaksin Astrazeneca memiliki vaksinasi sekitar 70% untuk pemberian vaksin dengan jeda 4 minggu dan 82,4% untuk pemberian vaksin dengan jeda 8 minggu antara dosis pertama dan kedua. Angka efikasi tersebut menggambarkan kemampuan masing-masing vaksin dalam mencegah penyakit COVID-19 yang bergejala (bukan COVID-19 tanpa gejala atau OTG) ringan, sedang maupun berat, dalam kondisi yang ideal yaitu kondisi penelitian uji klinis. Sebagai contoh, vaksin Sinovac memiliki efikasi 65% yang artinya orang yang mendapatkan vaksin Sinovac memiliki risiko 65% lebih rendah atau  sekitar tiga kali lebih rendah untuk terkena COVID-19 ringan/sedang/berat dibandingkan orang yang tidak mendapatkan vaksin Sinovac dalam uji klinis tersebut. Bagaimana dengan Pfizer? Orang yang mendapatkan vaksin Pfizer memiliki risiko 95% lebih rendah atau 20 kali lebih rendah untuk terkena COVID-19 ringan/sedang/berat dibandingkan orang yang tidak mendapatkan vaksin Pfizer. 

Apakah efikasi vaksin yang lebih rendah dari vaksin lainnya berarti satu vaksin memiliki efek mencegah penyakit yang lebih rendah dibandingkan penyakit lain?

Setiap uji klinis vaksin memiliki perbedaan desain penelitian, diantaranya  lokasi dan kriteria partisipan. Kita tidak dapat membandingkan langsung angka efikasi antara vaksin satu dengan lainnya karena perbedaan desain penelitian dan komposisi populasi partisipan dari masing-masing penelitian uji klinis vaksin. Perbandingan hanya dapat dilakukan apabila uji klinis dirancang untuk membandingkan lebih dari satu jenis vaksin. WHO sendiri memberikan syarat minimal 50% sebagai ambang batas efikasi yang baik bagi seluruh vaksin termasuk vaksin COVID-19. Sehingga kita dapat mengatakan bahwa seluruh vaksin COVID-19 yang ada saat ini sudah memenuhi syarat dari WHO, yaitu memiliki efikasi diatas 50%.

Kenapa kita membutuhkan vaksin terhadap COVID-19?

Vaksin terhadap COVID-19 dibutuhkan karena penyakit COVID-19 dapat menyebabkan gejala yang beragam dengan tingkat keparahan sampai dengan kematian. Penyakit COVID-19 dapat menyebabkan kematian pada semua kelompok umur dengan tingkat kematian tertinggi pada kelompok umur 50 tahun keatas (Surendra, 2020). Vaksin COVID-19 dibutuhkan terutama untuk menurunkan tingkat penularan dan kematian.

Apakah sudah ditemukan vaksin terhadap COVID-19?

Menurut data yang ada di situs vaccine tracker, saat ini terdapat sekitar 20+ vaksin memasuki uji klinis fase tiga dan terdapat lebih dari tujuh vaksin yang sudah mendapatkan ijin edar terbatas atau darurat di berbagai negara. Beberapa diantara vaksin tersebut adalah CoronaVac (Sinovac), Astrazeneca, Pfizer, dan Moderna.

Kenapa vaksin COVID-19 perlu diberikan dua kali?

Sampai saat ini hampir semua vaksin COVID-19 membutuhkan dosis dua kali suntikan untuk memberikan perlindungan secara maksimal, kecuali Johnson & Johnson. Hal ini karena hampir semua vaksin ketika suntikan pertama belum dapat memberikan respon kekebalan tubuh yang maksimal sehingga membutuhkan dosis kedua untuk meningkatkan respon kekebalan tubuh menjadi lebih sempurna.

Apakah vaksin COVID-19 aman?

Vaksin COVID-19 yang sudah mendapatkan izin edar di Indonesia oleh Badan Pengendalian Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia dapat dipastikan sudah aman. Semua vaksin yang telah mendapatkan ijin edar telah melalui uji klinis untuk memastikan keamanan dan kemampuan vaksin dalam mencegah penyakit COVID-19. Saat ini, di Indonesia sudah ada 2 vaksin terkait COVID-19 yaitu CoronaVac dari Sinovac dan AstraZenecca Oxford yang telah mendapatkan izin edar darurat atau emergency use authorization (UEA) dari BPOM Indonesia.

Apa saja komposisi dari vaksin COVID-19?

Kandungan vaksin COVID-19 sangat beragam dan berbeda antara satu vaksin dengan vaksin lainnya. Secara garis besar kandungan dari empat vaksin COVID-19, yaitu Pfizer, Moderna, AstraZenecca, Novavax dan Sinovac adalah:

  1. Sinovac: virus SARS-CoV-2 yang sudah dimatikan (inactivated), adjuvant, buffer dan garam
  2. Pfizer: molekul mRNA terkait protein spike SARS-CoV-2, minyak, garam dan gula
  3. Moderna: molekul mRNA terkait protein spike SARS-CoV-2, minyak, garam dan gula.
  4. AstraZenecca: Adenovirus ChAdOx1 yang sudah dimodifikasi serta memiliki kode genetik terkait protein spike COVID-19, garam, minyak dan gula

Apa saja efek yang tidak diinginkan (adverse effect/reaction) dari vaksin COVID-19?

Efek yang tidak diinginkan atau kejadian ikutan paska imunisasi (KIPI) yang ditimbulkan oleh vaksin COVID-19 dan sebagian besar ringan, yaitu:

  1. Demam ringan
  2. Rasa capek/lelah
  3. Rasa sakit dan kemerahan di tempat penyuntikan vaksin yaitu otot lengan
  4. Meriang
  5. Sakit kepala 
  6. Nyeri otot
  7. Nyeri sendi
  8. Reaksi alergi dari ringan (gatal) sampai berat (syok anafilaksis)
  9. Dan beberapa efek samping lain yang ringan

Oleh karena itu setelah vaksinasi kita diminta untuk tetap di tempat vaksinasi selama kurang lebih 30 menit untuk mengamati gejala terkait KIPI.

Apa saja efek baik yang ditimbulkan dari vaksin COVID-19 yang saat ini sudah ada?

Berdasarkan data penelitian yang tersedia, vaksin COVID-19 dapat mencegah penyakit COVID-19 yang bergejala baik ringan/sedang maupun berat. Selain itu semua vaksin COVID-19 yang sudah mengeluarkan hasil sementara uji klinis (interim analysis) dapat mencegah COVID-19 yang berat bahkan kematian dengan sangat baik. 

Apakah vaksin COVID-19 dapat mencegah penyebaran penyakit COVID-19?

Sampai saat ini bukti mengenai efek vaksin COVID-19 terhadap pencegahan transmisi masih terus diteliti di berbagai negara sehingga kita tetap harus melakukan 3M bahkan setelah mendapatkan vaksinasi. Namun menurut CDC dan WHO, vaksin dapat menurunkan tingkat keparahan COVID-19 termasuk salah satunya kemungkinan untuk masuk rumah sakit dan meninggal dunia. Efek ini baru bisa didapatkan setelah suntikan kedua vaksin COVID-19.

Kenapa ada yang masih terkena penyakit COVID-19 setelah mendapatkan vaksin?

Seseorang akan mendapatkan perlindungan optimal dari penyakit COVID-19 kurang lebih dua minggu setelah mendapatkan dosis kedua. Sebelum itu, tingkat perlindungannya lebih rendah, karena itu orang tersebut bisa saja terpapar sebelum mendapatkan dosis pertama, di dalam jeda antara dosis pertama dengan kedua, atau sesaat setelah mendapatkan dosis kedua, sehingga virus SARS-CoV-2 tersebut sudah masuk sebelum timbul kekebalan optimal dalam tubuh kita. Perlu dicatat bahwa perlindungan optimal pun tidak berarti bahwa kita 100% kebal terhadap penyakit ini, namun kemungkinannya jauh lebih kecil ketimbang tidak divaksin sama sekali atau belum disuntik 2x.

Apakah setelah mendapatkan vaksin dua dosis boleh tidak melakukan 3M? 

Ini merupakan salah satu pertanyaan yang paling sering ditanyakan. Ada beberapa alasan kenapa kita tetap perlu melakukan 3M bahkan setelah mendapatkan vaksin.

  1. Vaksin tidak melindungi 100% terhadap penyakit COVID-19 terutama yang tidak bergejala. Sampai saat ini vaksin baru terbukti kuat menurunkan dengan signifikan risiko COVID-19 bergejala ringan/sedang/berat atau meninggal dunia.
  2. Kekebalan yang ditimbulkan oleh vaksin masih dipengaruhi oleh banyak faktor lain salah satunya kondisi tubuh kita.
  3. Menurunkan kemungkinan terjadinya mutasi virus SARS-CoV-2 dengan cara mengurangi penularan COVID-19. Salah satu yang ditakutkan dari mutasi virus adalah timbul mutasi yang dapat menurunkan efektivitas vaksin.

Oleh karena itu kita tetap perlu melakukan 3M sebelum dan setelah mendapatkan vaksin. Karena pencegahan paling baik adalah mencegah tidak terpapar dengan cara melakukan 3M dengan baik, yaitu mencuci tangan, memakai masker dan menjaga jarak. Vaksin adalah lini pertahanan berikutnya apabila kita walaupun sudah melakukan 3M dengan baik tetap terpapar COVID-19.

Siapa sajakah kelompok yang menjadi prioritas untuk mendapatkan vaksin COVID-19 menurut peraturan menteri kesehatan nomor 84 tahun 2020?

Menurut Kementerian Kesehatan Indonesia, kelompok orang yang menjadi prioritas pemberian vaksin COVID-19 adalah:

  1. Tenaga kesehatan, asisten tenaga kesehatan dan tenaga penunjang kesehatan. Contohnya dokter, perawat, bidan, radiolog, apoteker, asisten apoteker, petugas bagian resepsionis di rumah sakit, petugas kebersihan di fasilitas kesehatan dan tenaga penunjang lainnya. 
  2. Masyarakat umum yang termasuk di dalam kelompok lanjut usia (60 tahun ke atas)
  3. Masyarakat umum yang memiliki komorbiditas yang dapat meningkatkan risiko terkait penyakit COVID-19.
  4. Petugas layanan publik termasuk tentara, polisi, petugas di stasiun kereta api.
  5. Tenaga pengajar dan tenaga pendidik termasuk dosen, guru, dan staf sekolah lainnya.
  6. Pegawai pemerintahan
  7. Masyarakat rentan dari aspek geospasial, sosial, dan ekonomi
  8. Dan masyarakat umum lainnya

Apa saja kriteria calon penerima vaksin Sinovac?

  1. Dewasa berusia diatas 18 tahun (BPOM sudah mengeluarkan izin pemberian vaksin untuk lansia)
  2. Menerima penjelasan dan menandatangani surat persetujuan untuk divaksinasi
  3. Bersedia mengikuti aturan dan jadwal imunisasi yang sudah ditetapkan pemerintah
  4. Dalam kondisi sehat atau tidak sakit, terutama sakit berkaitan dengan penyakit infeksi (termasuk COVID-19) dan atau mengalami gejala demam (≥37,5 derajat celcius)
  5. Tidak memiliki riwayat alergi berat terhadap vaksin berdasarkan riwayat vaksinasi sebelumnya (sesak nafas, bengkak dan kemerahan yang berat)
  6. Tidak memiliki riwayat penyakit pembekuan darah, gangguan sistem imun, penyakit kronis yang tidak terkontrol, epilepsi atau gangguan saraf lainnya
  7. Ibu menyusui boleh mendapatkan vaksin berdasarkan rekomendasi terbaru dari BPOM
  8. Selengkapnya dapat dibaca di artikel kami lainnya:

https://kawalcovid19.id/content/1620/vaksinasi-covid-19

Bagaimana perkembangan terkait mutasi virus SARS-CoV-2 saat ini?

Virus SARS-CoV-2 penyebab penyakit COVID-19 merupakan virus tipe RNA yang memiliki kemungkinan tinggi untuk mutasi. Sampai dengan tanggal 15 Februari 2021, berdasarkan data dari GISAID, terdapat empat varian mutasi SARS-CoV-2 yang menjadi perhatian di dunia yaitu mutasi D614G, B.1.1.7 (Britania Raya), B.1.135 (Afrika Selatan) dan B.1.1.28.1 (Brazil). Varian D614G memiliki kemampuan penularan lebih tinggi daripada varian asli SARS-CoV-2, sedangkan ketiga varian terakhir memiliki kemampuan penularan lebih tinggi daripada varian D614G. Sampai saat ini penelitian masih terus dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut efek varian mutasi terhadap risiko terkena COVID-19 bergejala ringan/sedang/berat atau kematian. Klik disini untuk penjelasan lebih lengkap dari Riza Putranto. Oleh karena itu, kita tetap perlu melakukan 3M walaupun sudah mendapatkan vaksinasi karena kita dengan melakukan 3M, peluang terpapar dan/atau terinfeksi virus SARS-CoV-2 menjadi kecil sehingga peluang virus SARS-CoV-2 untuk mutasi menjadi sangat kecil.

Apakah terdapat mutasi virus SARS-CoV-2 yang dapat mempengaruhi efektivitas vaksin?  

Sampai saat ini, data terkait efek mutasi virus SARS-CoV-2 terhadap efektivitas vaksin masih sangat minim. Namun data terbaru menunjukkan bahwa beberapa vaksin seperti AstraZeneca, Novavax dan Johnson & Johnson mengalami penurunan efektivitas vaksin ketika diberikan di Afrika Selatan, daerah yang dominan dengan varian B.1.1351 dan Amerika Selatan, daerah yang dominan dengan varian B.1.1.28.1. Namun untuk vaksin lain belum ada data tambahan terkait perubahan efektivitas vaksin yang disebabkan varian baru SARS-CoV-2. Sehingga dapat disimpulkan bahwa vaksin COVID-19 yang ada saat ini masih cukup efektif terhadap berbagai varian mutasi virus SARS-CoV-2. Namun jika terdapat mutasi yang dapat mempengaruhi efektifitas vaksin, kita tetap tidak perlu khawatir karena setiap vaksin yang saat ini digunakan bisa diberikan booster atau tambahan dengan melakukan pembaruan dari isi masing-masing vaksin.

Bagaimana dengan hasil penelitian terbaru dari Pfizer di Israel yang menyatakan bahwa vaksin Pfizer bisa mengurangi penularan COVID-19?

Sebuah penelitian dikeluarkan oleh Dagan, et al. (2021) di New England Journal of Medicine (NEJM) mengenai efek dari vaksin Pfizer setelah dilakukan vaksinasi masal di Israel. Penelitian ini memberikan harapan baru bahwa vaksinasi dapat mengurangi tingkat penularan COVID-19 di masyarakat. Hal ini didasari dengan hasil penelitian tersebut yang menyebutkan bahwa vaksin Pfizer dapat menurunkan risiko seseorang terkena asymptomatic COVID-19 atau kita kenal sebagai OTG sebanyak 92% setelah 7 hari paska pemberian dosis kedua. Selain itu vaksin Pfizer juga mampu menurunkan risiko seseorang terkena symptomatic COVID-19 atau COVID-19 yang bergejala ringan/sedang/berat sebesar 94% paska pemberian dosis kedua (Gambar 2). 


Kenapa hal ini dikatakan bisa mengurangi penularan? Karena penularan COVID-19 disebabkan oleh dua hal yaitu OTG dan orang yang bergejala sedangkan hasil sementara dari uji klinis belum bisa membuktikan penurunan kasus OTG di kelompok vaksinasi. Sehingga hasil dari penelitian di Israel ini memberikan harapan baru bahwa vaksin bisa menurunkan angka penularan karena vaksin juga bisa mengurangi kasus OTG. Namun kembali kami menegaskan bahwa vaksin bukan merupakan intervensi utama saja karena tanpa didukung intervensi lainnya seperti 5M, 3T maka vaksin tidak akan bisa mencegah penularan COVID-19 secara menyeluruh. Kenapa? Gambar 2 selain menunjukkan penurunan juga menunjukkan bahwa pada kelompok yang mendapatkan vaksin tetap ditemukan orang-orang yang terkena COVID-19 bahkan setelah lebih dari 7 hari paska pemberian dosis kedua. Hal ini menunjukkan bukti bahwa vaksin saja tidak cukup menghentikan risiko seseorang tertular COVID-19 sehingga kita tetap perlu langkah pencegahan lainnya.

Gambar 2. Grafik penurunan risiko kasus OTG dan kasus COVID-19 yang bergejala

Referensi

Surendra H, Elyazar IRF, Djaafara BA, et al. Clinical characteristics and mortality associated with COVID-19 in Jakarta, Indonesia: a hospital-based retrospective cohort study. medRxiv. Published online January 1, 2020:2020.11.25.20235366.

https://www.who.int/news-room/q-a-detail/coronavirus-disease-(covid-19)-vaccines

https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/faq.html

https://www.nytimes.com/interactive/2020/science/coronavirus-vaccine-tracker.html#astrazeneca

https://www.who.int/news-room/feature-stories/detail/how-do-vaccines-work

Voysey, M., Clemens, S. A. C., Madhi, S. A., Weckx, L. Y., Folegatti, P. M., Aley, P. K., … & Bijker, E. (2021). Safety and efficacy of the ChAdOx1 nCoV-19 vaccine (AZD1222) against SARS-CoV-2: an interim analysis of four randomised controlled trials in Brazil, South Africa, and the UK. The Lancet, 397(10269), 99-111.

Polack, F. P., Thomas, S. J., Kitchin, N., Absalon, J., Gurtman, A., Lockhart, S., … & Gruber, W. C. (2020). Safety and efficacy of the BNT162b2 mRNA Covid-19 vaccine. New England Journal of Medicine, 383(27), 2603-2615.

https://www.instagram.com/p/CK6qEurrnu_/?utm_source=ig_web_copy_link

https://www.the-scientist.com/news-opinion/vaccines-versus-the-mutants-68430

https://www.wits.ac.za/covid19/covid19-news/latest/oxford-covid-19-vaccine-trial-results.html

Dagan, N.; Barda, N.; Kepten, E.; Miron, O.; Perchik, S.; Katz, M.A.; Hernán, M.A.; Lipsitch, M.; Reis, B.; Balicer, R.D. BNT162b2 mRNA Covid-19 Vaccine in a Nationwide Mass Vaccination Setting. N. Engl. J. Med. 2021, doi:10.1056/NEJMoa2101765.

Perkembangan Penelitian Vaksin COVID-19 Dunia

Preclinical----Not yet in human trials
Phase I----Small-scale safety trials
Phase II----Expanded safety trials
Phase III----Large-scale trials
Limited approval----Approved for limited use
Approved----Approved for human use
Pembaruan Terakhir

Gagal mengambil data. Mohon coba lagi dalam beberapa saat.

Kandidat Vaksin COVID-19 teratas

TahapanDibuat olehTipe Vaksin
Pembaruan Terakhir

Gagal mengambil data. Mohon coba lagi dalam beberapa saat.