Lanjut ke konten

Cerita dari Jerman: Pengalaman Dua WNI di Bochum dan Frankfurt

Seorang pelajar dan seorang pekerja asal Indonesia yang tinggal di Jerman membagikan kisah penanganan pandemi oleh pemerintah Jerman

Kawal COVID-19's Avatar
Kawal COVID-19Tim administrator situs KawalCOVID19.id

Koresponden: Jessia Kalisha Tanujaya (anggota Perhimpunan Pelajar Indonesia / PPI Jerman yang tinggal di kota Bochum di negara bagian North Rhine-Westphalia (NRW)) dan Juanita Nababan (karyawan Badan Meteorologi Jerman, Divisi Public Budget, Bagian Economic Feasibility Study yang tinggal di Frankfurt am Main, negara bagian Hessia)

Bagaimana sikap masyarakat setempat menanggapi pandemi COVID-19?

Jessia: NRW merupakan daerah dengan angka COVID-19 tertinggi di Jerman. Pada 17 Maret, sudah terdapat 3.060 pasien terkonfirmasi positif COVID-19, 12 di antaranya meninggal dunia. Sejak 16 Maret, aktivitas di Jerman sudah sangat dibatasi. Semua universitas dan sekolah di NRW tutup. Café, restoran, gym, dan museum juga akan segera tutup. Saat ini kami masih diperbolehkan belanja ke supermarket walaupun pemerintah telah mengimbau agar hanya satu orang saja dari tiap rumah tangga yang boleh bepergian untuk menghindari terjadinya kerumunan orang.

Sikap setiap warga bervariasi tergantung daerah. Daerah yang didominasi pelajar yang lebih teredukasi tentang pandemi tidak banyak mengalami panic buying. Beberapa produk seperti tisu toilet dan disinfektan memang sulit dicari. Tetapi, bahan pangan dan keperluan sehari-hari lainnya masih banyak ditemukan. Namun, di daerah lain, terjadi panic buying serta perlakuan rasis. Perlakuan rasis ini sebagian besar ditujukan kepada orang-orang Asia. Terdapat stigma bahwa orang Asia adalah orang dari Tiongkok yang membawa virus korona sehingga tak jarang orang Asia dijauhi dan diperlakukan secara tidak menyenangkan.

Juanita: Melanjutkan kampanye tentang kebersihan diri dan social distancing, pemerintah pusat menerapkan pembatasan mobilitas di luar sejak 16 Maret 2020. Istilah lockdown tidak digunakan. Pada dasarnya, hanya bisnis logistik dan basic-needs (supermarket, drug stores, bank, kantor pos) yang masih buka, walau frekuensi berbelanja berkurang menjadi maksimal seminggu sekali dan jumlah orang yang diizinkan masuk dibatasi. Pemerintah negara bagian berwenang menjabarkan keputusan pemerintah pusat ke dalam langkah-langkah teknis. Di Bavaria, misalnya, pelaksanaan peraturan berada di bawah wewenang polisi dengan memberlakukan penalti hingga 350 Euro bagi setiap pelanggaran. Namun di kebanyakan negara bagian lain, polisi lebih mengandalkan persuasi dan tidak menerapkan denda.

Reaksi masyarakat beragam. Kebanyakan mulai berhati-hati dan mengikuti anjuran pemerintah. Namun, seperti di belahan dunia lain, masih ada yang menganggap pemerintah berlebihan dan terus menjalankan aktivitas seperti biasa. Akhirnya keputusan pemerintah pusat untuk membatasi mobilitas masyarakat di tempat publik tidak dapat dihindari. Kanselir Jerman Angela Merkel dalam pidato resminya menyampaikan bahwa kondisi saat ini kritis sehingga tiap warga harus menyikapi situasi ini dengan serius. Biasanya Kanselir Merkel menyampaikan pidato seperti ini setahun sekali, yaitu pada Tahun Baru. Selama puluhan tahun sejarah Jerman sesudah Perang Dunia II, belum pernah Kanselir Jerman berpidato langsung kepada warga lebih dari satu kali dalam setahun. 

Imbas ekonomi, khususnya bagi para pekerja kelas menengah ke bawah dan pelaku UMKM, dibahas di media tetapi tidak dalam nada agresif atau takut. Hal ini terutama disebabkan oleh kesigapan pemerintah dalam memperluas peran di bagian ekonomi dan menutup kelowongan di pasar ekonomi yang disebabkan oleh runtuhnya produktivitas dan demand di pasar.

Seberapa tanggap pemerintah Jerman dalam menangani pandemi ini?

Jessia: Sejauh ini, pemerintah belum melakukan lockdown secara menyeluruh walaupun sudah membatasi jadwal bus antar kota. Namun, saya pribadi merasa bahwa penanganan dari pemerintah dapat dilakukan dengan lebih sigap agar angka kasus tidak terus meningkat seperti sekarang. Keputusan pemerintah menutup wilayah perbatasan dan membatasi aktivitas warga sedikit lebih awal seharusnya dapat berdampak yang lebih baik.

Juanita: Sejak pertengahan Januari 2020, pemerintah Jerman terlihat solid dalam komunikasinya dengan publik. Walau berasal dari partai-partai yang berbeda, mereka tetap satu suara. Dalam konferensi pers, berbagai kementerian berbicara dengan pesan yang sama: jangan stockpiling, logistik dan distribusi kebutuhan hidup di Jerman baik (jadi tidak perlu stockpiling), lakukan social distancing, dan pedulikan pekerja kelas ekonomi menengah ke bawah dan wiraswasta. Sejauh ini mereka berhasil menanggapi kondisi ini dengan serius tanpa menyebarkan rasa panik atau takut di kalangan masyarakat. 

Dari akhir Maret 2020, laporan status pandemi oleh lembaga pengendalian penyakit pemerintah Robert-Koch-Institut (RKI) dilakukan tiga kali seminggu. Mereka bekerja sama dengan kantor-kantor kesehatan pemerintah daerah. Dari awal RKI berhasil memposisikan diri sebagai sumber terpercaya dalam perkembangan pandemi dari hari ke hari. Karena mekanisme aktualisasi angka harian yang agak berbeda, media-media besar Jerman juga menggunakan angka statistik harian dari Johns Hopkins University. 

Dengan rekor waktu pembahasan tercepat, tanggal 25 Maret 2020, parlemen Jerman menyetujui paket bantuan darurat bernilai 750 miliar Euro. Sasaran bantuan adalah para pekerja yang terpaksa dirumahkan atau mengurangi jam kerja sehingga penghasilannya berkurang pada masa pandemi. Dari pemerintah, mereka mendapatkan tunjangan 60% dari pemasukan awal, dengan proses aplikasi yang tidak birokratis. Bagi mereka yang kehilangan pekerjaan, proses aplikasi dipermudah, wiraswasta, yakni pengusaha kecil, freelancer, penggiat seni, dll dapat mendaftarkan diri secara online. Bantuan dana ini bukan kredit, jadi tidak harus dibayar kembali. Penyewa yang kesulitan membayar uang sewa karena kekurangan penghasilan atau kehilangan pekerjaan di masa pandemi ini tidak boleh ditendang keluar oleh pemilik properti. Mereka diberi kesempatan hingga akhir Juni 2020 untuk membayar penuh uang sewa. 

Di sektor kesehatan, pemerintah meluncurkan program bantuan agar rumah sakit menyediakan kapasitas ICU serta mesin bantuan pernafasan/ventilator bagi pasien akut. Rumah sakit yang menyediakan kapasitas tempat tidur untuk perawatan intensif akan mendapat bantuan lump-sump sekitar 500 Euro per hari per tempat tidur.

Bagaimana diaspora Indonesia di Jerman saling memotivasi di tengah pandemi?

Jessia: Organisasi mahasiswa seperti PPI banyak mengadakan program online seperti livestream, webinar, dan penggalangan dana untuk bantuan alat pelindung diri (APD) bagi tenaga kesehatan yang tengah berjuang di garda depan melawan COVID-19. Selain menumbuhkan solidaritas, inisiatif-inisiatif seperti ini mengingatkan kami untuk lebih fokus ke hal-hal positif yang masih mampu kami lakukan di tengah keterbatasan kami saat ini.

Juanita: Berbagai event diaspora Indonesia di Frankfurt dibatalkan. Kebaktian di gereja Indonesia pun berlangsung secara online. Diaspora di sini cukup disiplin, paling tidak di lingkungan yang saya kenal. Mereka tidak berkumpul dan menjaga kontak dengan virtual atau telepon. Hal ini pada awalnya cukup sulit, mengingat kebiasaan orang Indonesia yang suka kumpul-kumpul. 

Konsulat Jenderal Indonesia di Jerman pun cukup informatif dengan mengeluarkan berbagai imbauan yang sejalan dengan kebijakan setempat. Misalnya, apabila merasa sakit, jangan ke dokter, namun coba untuk konsultasi lewat telepon. Saat saya harus datang ke konsulat untuk kepentingan birokrasi pada pertengahan Maret lalu, saya cukup terkejut melihat dispenser berisi disinfektan di depan pintu masuk. Konsulat juga mengimbau layanan dilaksanakan via pos, kecuali dalam kondisi darurat sehingga harus berkunjung. Kunjungan ke konsulat pun harus dilakukan sendiri, tidak berdua atau beramai-ramai. Pengunjung pun diukur suhu tubuhnya satu per satu.

Apa pesanmu untuk rekan-rekan di penjuru dunia?

Jessia: Saya sangat berharap kawan-kawan tidak lagi keluar rumah kecuali dalam keadaan sangat darurat. Kita semua harus berperan di tengah masyarakat. Kabar baiknya saat ini, hanya dengan tidak keluar rumah saja kita bisa membantu memperlambat penyebaran virus COVID-19. Di situasi yang penuh ketidakpastian ini, wajar saja kita merasa down dan cemas. Tapi, mari fokus pada hal-hal yang bisa kita lakukan. Gunakan waktu ini untuk membaca buku di rumah, mendengarkan podcast, atau melakukan hal-hal positif lainnya. Sebarkan pesan positif lewat media sosial kamu. Jangan menyebarkan hoax yang dapat membuat masyarakat menjadi semakin panik.

Juanita: Pandemi ini adalah masa yang luar biasa. Kita tengah mencatat sejarah. Pandemi ini sekaligus juga adalah stress-test untuk sistem sosial dan ekonomi di berbagai negara. Semoga pelajaran positif yang ditarik oleh pemerintah dan politisi dari masa ini adalah pentingnya sistem sosial yang solid serta sistem ekonomi yang berimbang. Sambil menunggu pandemi berlalu, mari masing-masing kita melakukan apa yang bisa dilakukan untuk flattening-the-curve, seperti social-distancing dan menjaga higiene. Sapere aude. Tahan diri dan disiplin, tanpa rasa panik dan takut.