Lanjut ke konten

Bertahan Saja Sudah Cukup

Cerita dan saran bagaimana mengatasi rasa cemas karena bipolar disorder yang dapat diterapkan untuk mengatasi rasa cemas karena pandemi.

Kawal COVID-19's Avatar
Kawal COVID-19Tim administrator situs KawalCOVID19.id

Menggali substansi hidup sambil #diamdirumah

Astrid P. (Instagram: @astridpra), penulis, praktisi PR & marketing

Beberapa hari yang lalu saya membaca kicauan seorang aktor Indonesia di Twitter, di mana ia mengatakan bahwa selama pandemi ini kita tak perlu memaksa untuk harus tetap ceria dan harus tetap produktif. “Di masa-masa maha kelam ini, kita hanya perlu bertahan hingga badai reda. Bertahan, itu sudah cukup,” tulisnya.

Sebagai orang yang hidup dengan bipolar disorder, seketika saya merasa kicauan tersebut sangat relatable dengan kehidupan saya. Bayangkan saja, bagaimana seandainya kicauan tersebut berlaku sepanjang hidup Anda, dan tidak hanya selama masa pandemi COVID-19 ini? Karena itulah yang saya, sebagai ODGJ (orang dengan gangguan jiwa), rasakan.

Hampir seumur hidup saya terisolasi, tinggal dalam ruang terbatas, pergerakan saya pun tak bebas. Saya kehilangan banyak teman akibat gangguan mental yang saya miliki, hidup dalam kecemasan (anxiety) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari gangguan bipolar. Dan bahkan, dalam episode depresif, keluarga saya pun tak mampu menghadapi saya, sehingga saya benar-benar sendirian di dalam kamar dan berjuang melawan musuh-musuh yang tak terlihat. Saya sangat memahami apa yang Anda rasakan selama masa isolasi; bosan, resah, cemas, takut, marah dan masih banyak emosi negatif lainnya. 

Dan trust me, apapun emosi negatif yang Anda rasakan itu sama sekali tidak akan membantu Anda untuk dapat melalui masa kelam ini.

Berdasarkan pengalaman saya yang telah terisolasi seumur hidup ini, saya hanya ingin mengajak Anda untuk belajar mengenai substansi hidup. Selama dalam masa isolasi, cobalah pahami bahwa substansi hubungan sosial dengan teman dan saudara adalah di mana tali silaturahmi tetap terjalin, tak perlu kongkow di kafe, makan malam bersama, dan sebagainya; cukup dengan rutin menanyakan kabar teman dan saudara Anda, berbincang baik melalui telepon, text message atau video call

Coba juga pahami substansi dari beribadah di mana yang paling penting adalah hubungan kita dengan Tuhan, bukan berupa gedung mesjid, gereja, vihara, pura, dan lain-lain; bukan pula keseruan dan kenikmatan berjamaah, dan juga bukan dekorasi atau simbol-simbol perayaan keagamaan. 

Cobalah pahami substansi dari profesi dan/atau pekerjaan kita masing-masing, di mana yang paling penting adalah pekerjaan kita terselesaikan dengan baik, bukan pakaian bagus, riasan, office mates dan sebagainya. Mungkin selama ini hidup kita berputar pada tempat ibadah, kantor, pusat kebugaran, mal, bioskop, pandangan masyarakat dan sebagainya; dan pandemi ini mengajarkan pada kita bahwa pada akhirnya rumah, keluarga dan kepercayaan kitalah kita butuhkan.

Saya belajar tentang substansi hidup itu selama bertahun-tahun terisolasi dan selama itulah saya  bertahan. Memang, terisolasi bukanlah hal yang mudah, saya pun sering merasa tersingkir, merasa tidak berguna, tak berdaya, dan lainnya, tapi dengan memahami substansi hidup, saya bertahan; dan bertahan saja sudah cukup.

Sebagai orang yang hidup dengan bipolar disorder, sangat sulit bagi saya untuk bisa berada dalam kondisi suasana hati yang normal, saya lebih sering terombang-ambing dalam episode depresi dan mania; sangat jarang dan sulit berada di antaranya. Membutuhkan terapi obat dan kognitif yang panjang untuk bisa menempatkan saya dalam kondisi normal tersebut, dan apabila saya telah mencapai kondisi tersebut, maka terapi akan disesuaikan agar dapat memperpanjang kondisi normal itu. Ya, hanya memperpanjang kondisi normal tersebut, karena episode depresi dan mania adalah keniscayaan bagi orang seperti saya, sehingga suatu saat saya pasti akan mengalami depresi dan mania lagi. Dan dalam kondisi normal itulah saya akan merasa selalu cemas karena saya takut kalau-kalau kondisi normal ini tidak dapat berlangsung lama.

Bagaimana cara saya mengatasi rasa cemas tersebut? Saya ikuti protokol kesehatan yang merupakan bagian dari terapi yang diinstruksikan oleh psikiater kepada saya, dimana saya harus bangun di pagi hari, berjemur dan olahraga ringan, makan sehat, minum obat, mandi setiap hari dan rutin mempraktekan sleeping hygiene. Setiap kali saya merasa cemas, saya ingatkan diri saya sendiri bahwa selama saya melakukan protokol kesehatan tersebut, saya akan baik-baik saja; pun suatu saat depresi dan/atau mania itu terjadi lagi, secara fisik saya sudah lebih siap menghadapi episode-episode tersebut.

Mungkin cara saya ini bisa Anda terapkan dalam mengatasi rasa cemas dan takut akibat pandemi ini. Ikuti protokol dan saran-saran kesehatan yang telah ditetapkan oleh WHO dan/atau pemerintah. Jaga jarak, diam di rumah, jangan keluar rumah kalau tidak sangat perlu, kenakan masker, rajin cuci tangan, makan sehat, tidur cukup, berjemur, minum vitamin, jangan stress, dan sebagainya. Dengan disiplin mengikuti protokol, tubuh kita akan lebih sehat dan kimia dalam otak pun juga lebih seimbang, sehingga kita tidak akan mudah terkena stress.

Seperti halnya saya tak tahu sampai kapan saya harus hidup dengan bipolar disorder ini, kita semua tak tahu sampai kapan pandemi ini akan berlangsung. Kita harus dapat menyesuaikan diri dan kehidupan kita selama masa pandemi ini, sehingga kita bisa bertahan; dan, sekali lagi, bertahan saja sudah cukup.

Don’t let the Chicken Little Syndrome overpowers you.

The sky is not falling!