Seri Penyintas COVID-19: Tiga Bulan Bergumul dengan COVID-19
Sepulang dari Inggris, penulis mengalami anosmia (kehilangan indera penciuman). Selama tiga bulan lamanya, ia dinyatakan positif COVID-19 dengan total 10 tes swab.
Penulis: Elzavira Felaza (Mahasiswi Doktoral di University College London)
Sudah tahu lagi pandemi kok malah pulang? Mau ngapain di Indonesia?
Saya adalah seorang mahasiswi Indonesia yang sedang melanjutkan studi di London. Ketika pandemi ini mulai heboh di berbagai negara, saya masih cukup tenang dengan tetap waspada dan menjalani saja protokol yang ada. Hanya itu kan yang bisa kita lakukan?
Pertengahan bulan Maret, datanglah e-mail dari kampus yang menyatakan bahwa kampus akan ditutup. Jadi, jika ingin pulang ke negara masing-masing, inilah saatnya. Saya mulai bingung karena ada keinginan hati untuk pulang tapi tidak tahu mau apa di Indonesia. Takutnya saya malah bikin ribet di negara sendiri, amit-amit menyumbang kasus. Setelah berdiskusi dengan dosen pembimbing, akhirnya saya memutuskan untuk pulang ke Jakarta. Kenapa? Pertama, riset saya adalah riset sosial di Indonesia. Kedua, kampus di London sudah mulai ditutup. Jadi buat apa bertahan di London? Kalau saya pulang, saya bisa lebih mudah mengambil data. Akhir bulan Maret 2020, saya pulang dengan mengikuti protokol kepulangan dari luar negeri, yakni mengisi kartu kuning dan karantina mandiri selama 14 hari.
Sesampainya di Indonesia, saya langsung menuju apartemen untuk karantina mandiri. Beruntung saya memang punya tempat untuk isolasi mandiri yang disiapkan oleh keluarga saya, lengkap dengan stok makanan selama karantina 14 hari tersebut. Beruntungnya lagi, keluarga saya paham kondisi dengan tidak menjemput saya di bandara setelah saya minta.
Pada hari ke-5 karantina, berawal saat cuci tangan di pagi hari, saya menyadari sesuatu. Kok saya tidak bisa mencium bau apa-apa? Saya sempat berpikir mungkin karena keseringan cuci tangan, saya jadi tidak bisa mencium bau sabunnya lagi. Saya abaikan saja, apalagi saya pikir, gejalanya batuk dan demam, bukan kehilangan indera penciuman. Namun, siangnya saya membaca berita tentang gejala anosmia yang muncul pada pasien-pasien asimtomatik. Saya coba lagi cium berbagai bau lainnya dan tidak ada sama sekali bau apapun yang tercium. Saya mulai panik dan menghubungi keluarga, menanyakan apakah saya perlu diperiksa.
Saya sekali lagi beruntung karena keluarga saya mayoritas berprofesi sebagai dokter yang punya banyak kenalan dokter-dokter lainnya. Saya sangat terbantu karenanya. Saya diminta untuk cek darah dan rontgen. Hasilnya menunjukkan seperti ada infeksi virus, tapi memang belum bisa dipastikan bahwa itu COVID-19. Saya pun diminta melakukan tes antibodi atau rapid test (secara mandiri di RS swasta). Hasilnya reaktif. Pada tanggal 30 Maret, saya pertama kali tes swab dan dapat dikonfirmasi bahwa saya positif COVID-19. Saya diminta untuk kembali melanjutkan isolasi mandiri sampai sembuh total.
Tidak ada hal lain yang saya rasakan selain kehilangan indera penciuman dan perasa. Hal ini terjadi sekitar 2 minggu, lalu berangsur-angsur membaik. Sulit bagi saya untuk mengetahui apakah anosmia saya sudah pulih total karena saya tinggal sendiri. Dibandingkan dengan pasien-pasien COVID-19 lainnya, gejala ini tidak ada apa-apanya.
Hasil tes swab pertama dengan hasil positif (sumber foto: dokumentasi pribadi penulis)
Awal dikonfirmasi mengidap penyakit ini, saya tentunya panik. Bagaimana tidak? Setiap membuka HP dan mengobrol dengan orang lain, selalu berita kematian akibat penyakit ini yang dibahas. Susah sekali mendapatkan cerita pengalaman langsung dari orang-orang asimtomatik. Kebanyakan adalah berita tentang betapa “berbahaya”-nya mereka sebagai silent spreader. Dalam kasus saya, saya harus hidup sebagai “mereka yang tampak baik-baik saja tapi merugikan banyak orang” selama 3 bulan.
Dulu, sesuai protokol, untuk dinyatakan sembuh, pasien harus dua kali berturut-turut mendapat hasil negatif dari tes PCR. Kronologi hasil tes saya adalah tanggal 6 April (positif), 13 April (positif), lalu 27 April (positif). Saya mendapatkan hasil swab negatif pertama pada 11 Mei, yang disusul dengan positif kembali pada tanggal 18 Mei. Frustrasi? Lumayan. Tapi dengan dukungan dari keluarga dan teman-teman, saya tetap semangat. Saya juga mendapatkan obat-obatan dari dokter, kebanyakan vitamin untuk daya tahan tubuh karena memang tidak ada tanda-tanda sakit apapun yang saya rasakan. Sakit tapi tidak merasa sakit.
Kok lama banget sih? Kok bisa? Ini pertanyaan yang sering sekali saya terima selama proses penyembuhan. Keluarga saya yang mayoritas dokter juga dihujani pertanyaan-pertanyaan seperti ini. Dokter pun bingung. Ini penyakit baru. Yang kita bisa lakukan cuma usaha dan tetap semangat. Saya ingat pesan dokter untuk terus beraktivitas seperti biasa dan bekerja dalam karantina agar tidak cepat bosan. Karena saya mahasiswa, masa isolasi di apartemen saya habiskan dengan mengerjakan tugas-tugas kuliah, menulis disertasi, menilai esai mahasiswa, dan sebagainya.
Kesehatan mental saya mulai terganggu sekitar Idul Fitri, dua bulan lebih sejak saya dinyatakan positif. Kami sudah tidak tahu apa yang perlu diusahakan lagi. Keluarga dan dokter saya menawarkan untuk isolasi mandiri saja di rumah, tapi dari dulu saya tidak mau. Kenapa? Kembali ke pernyataan awal tadi. Sakit sih tidak, tapi nularin orang. Akan tetapi, dengan berbagai cara, akhirnya keluarga saya berhasil meyakinkan saya untuk isolasi di rumah. Saya menggunakan satu kamar dan kamar mandi khusus. Kami memasang tirai dari plastik PVC sebagai partisi agar saya tetap bisa berkomunikasi dengan mereka tapi terbatas tirai. Meski terbatas, saya tetap bersyukur karena akhirnya menginjakkan kaki di rumah sendiri.
Zona isolasi di rumah menggunakan tirai PVC (sumber foto: dokumentasi pribadi penulis)
Saya melewatkan beberapa minggu dalam “zona isolasi” di rumah. Sebagai informasi tambahan, saya memiliki rhinitis alergi. Dokter menyarankan saya untuk cuci hidung dan pakai obat alergi. Beliau khawatir jikalau saya sudah sembuh tapi sisa-sisa virus matinya terdeteksi saat tes swab karena rhinitis alergi saya sedang kambuh dan saya pilek terus-menerus. Setelah rutin cuci hidung dan memakai obat alergi, pilek saya mereda.
Siklus akhirnya selesai pada tanggal 30 Juni. Saya dinyatakan sembuh dengan hasil tes negatif dua kali berturut-turut dengan total 10 kali swab test selama tiga bulan. Ini adalah perjalanan yang panjang, sangat panjang. Di awal, saya tahu konsekuensinya jika saya pulang ke Indonesia, yaitu harus isolasi mandiri dan bisa saja terinfeksi virus. Tapi, yang saya tidak sadari adalah bahwa konsekuensinya bisa selama itu.
Salah satu hasil tes swab dengan hasil negatif (sumber foto: dokumentasi pribadi penulis)
Dulu, sulit sekali bagi saya mencari cerita-cerita dari orang-orang asimtomatik. Hal ini membuat mental saya semakin down dan sulit menemukan teman bercerita. Saya berharap cerita ini dapat memberi semangat untuk teman-teman yang sedang berjuang, terutama yang terkonfirmasi tanpa gejala dan harus menjalani ini dalam durasi yang lama.
Masih untung asimtomatik kan? Kayak gitu doang kan nggak ada sakit apa-apa? Orang lain swab bisa sampai 18 kali lho, semangat dong. Saya harap ujaran seperti ini tidak didengar oleh teman-teman yang sedang berjuang untuk sembuh. Jika kalian mendengarnya, buang yang tidak penting dan ambil yang bermanfaat.
Lalu apa yang bisa dilakukan jika orang-orang terdekat kita menderita COVID-19 tanpa gejala serius? Jangan katakan, “Yaudah jangan dipikirin, nanti juga sembuh. Santai aja. Ada hikmahnya. Udah negatif kan? Orang kayak kamu pasti bisa lah ngejalanin ini.” Kata-kata ‘pemanis’ seperti ini kadang kurang bermanfaat buat kami yang menjalani “siklus” penyakit ini. Tanyakan ke mereka apa yang mereka perlukan. Itu akan jauh lebih membantu.
Akhir kata, ada dua hal yang saya dapatkan dari pengalaman ini. Pertama, konsekuensi kadang tidak bisa kita perhitungkan. Kita mungkin berpikir, ah paling dua minggu juga sembuh. Nyatanya, beda kasus, beda konsekuensi. Kedua, konsekuensinya bukan hanya tentang diri sendiri tapi juga mereka di sekeliling kita. Yuk berjuang sama-sama.