Lanjut ke konten

Seri Penyintas COVID-19: Papaku Terus Sesak Napas Meski Sudah Dinyatakan Sembuh

Lima minggu setelah dinyatakan sembuh dari COVID-19, ayah dari penulis masih terus sesak napas dan memakai masker oksigen di rumah.

Kawal COVID-19's Avatar
Kawal COVID-19Tim administrator situs KawalCOVID19.id

Kalau bukan karena hasil positif swab ulang di RS Siloam, kami sekeluarga tidak akan percaya kalau Papa yang berusia 53 tahun terkena COVID-19. 

Sebelumnya memang Papa ikut swab yang diselenggarakan gereja kami. Gereja kami melakukan swab massal dalam beberapa gelombang setelah sejumlah gembala jemaat dan pendeta kami tertular dan termasuk dalam klaster Hotel Lembang Asri bulan Maret lalu.

Papa melakukan dua swab test dengan jeda waktu tiga hari di bulan April karena mengalami gejala demam dan sakit tenggorokan. Sebelumnya, Papa memang pernah bertemu dengan salah satu pendeta yang hadir dalam kegiatan retreat di hotel tersebut. Hasil dari tes swab massal itu positif. Papa dan Mama sangat terkejut.

Karena kurang puas dengan hasil test tersebut, ditambah kondisi Papa yang mulai demam dan sakit tenggorokan, Papa melakukan swab ulang di RS Siloam. Kemudian, Papa disarankan untuk melakukan scan paru-paru. Setelah kembali mendapatkan hasil positif dan melihat hasil scan paru-paru, setelahnya Papa baru bisa menerima kalau ia tertular COVID-19. Saat melihat hasil scan Papa pun, dokter mengatakan mungkin Papa sudah mengalami kerusakan di paru-paru yang sudah penuh flek itu. Padahal, selama ini paru-paru Papa tidak pernah bermasalah. Merokok pun tidak. Papa juga dalam kondisi bugar karena setiap hari selalu jalan kaki berkeliling selama 30 menit, anjuran yang beliau lakukan atas saran dokter saat dulu didiagnosis menderita diabetes tahun 2014 dan masih terus beliau lakukan walaupun gula darahnya sudah dinyatakan normal tahun 2016. 

Karena ketiadaan ruangan di RS Siloam, kami memutuskan agar Papa menjalani isolasi mandiri di bawah pengawasan dokter. Sepanjang perawatan di rumah yang berlangsung lima minggu tersebut, Papa cuma mengalami gejala batuk dan panas, tidak pernah sekalipun sesak napas. Selama Papa menjalani isolasi mandiri, Mama dan perawat saya waktu saya kecil lah yang mengurus keperluan Papa. Kami tidak berhasil mendapatkan bantuan perawat profesional, karena tidak ada yang bersedia. Saya dan suami pun harus mengungsi ke rumah kakak agar Papa bisa menjalani isolasi mandiri di rumah.  

Bulan Mei lalu, dokter menyatakan Papa sembuh dari COVID-19. Namun, sampai saat ini, Papa masih merasa lemah dan malah sering mengalami sesak napas. Beliau pun jadi sangat tergantung pada tabung oksigen. Papa pun takut keluar rumah. Ini membuat kami khawatir, karena Papa perlu olah raga. Setiap hari setidaknya beliau perlu berjalan kaki selama 30 menit seperti yang biasa beliau lakukan sebelumnya untuk menjaga kebugarannya.

Papa yang tadinya masuk dalam kategori obesitas sangat merasakan manfaat jalan kaki seperti yang dianjurkan dokter. Papa pernah mengalami penyumbatan pembuluh darah dan melakukan pemasangan ring (stent) pada tahun 2012. Sejak itu Papa rajin jalan kaki hingga berat badannya lumayan menurun. Terakhir, sebelum tertular COVID-19, berat badan Papa 82 kilogram dengan tinggi 171 cm. 

Sekarang, walau sudah sembuh dari COVID-19, Papa tidak kuat berjalan terlalu lama. Selama menjalankan isolasi mandiri, Papa pindah ke lantai atas rumah kami supaya tidak menularkan virus ke Mama dan anggota keluarga lain. Tetapi, setelah sembuh, Papa belum pernah meninggalkan lantai atas, bahkan hingga sekarang. Papa enggan untuk pindah kembali ke kamarnya di lantai bawah walau kami sudah mengupayakan berbagai cara, seperti mendisinfeksi rumah beberapa kali secara profesional. Katanya, “Nanti bagaimana kalau virus Papa nempel di sofa?” Kami akhirnya mulai merenovasi rumah untuk memasang lift supaya Papa tidak harus naik turun tangga.

Sedih rasanya melihat kondisi Papa sekarang. Setiap kali sesak napas, beliau harus segera memasang tabung oksigen. Berat badan Papa pun turun drastis sebanyak 15 kilogram, karena untuk makan saja Papa merasa ngos-ngosan sehingga tidak bisa mengonsumsi makanan secara normal. Papa juga tidak bisa pakai masker karena pasti akan merasa sesak. Makanya, jika kami berkunjung dan bertemu Papa, Papa selalu memakai masker oksigen. 

Lepas dari semua tantangan yang Papa hadapi, kami tetap bersyukur dan memuji Tuhan karena Papa bisa selamat. Kami pun tetap berbesar hati. Apalagi kata dokter, Papa bisa pulih dengan terus melatih pernapasan, meskipun cara ini membutuhkan waktu lama dan kesabaran. 

*Penulis adalah kawan dekat dari seorang relawan KawalCOVID19 yang tidak bersedia disebutkan namanya