Lanjut ke konten

Seri Pengawal Pagebluk: Suka Duka Merawat Pasien COVID-19 di RS Suyoto

Seorang dokter relawan di Jakarta menggambarkan situasi perawatan COVID-19 di lapangan, termasuk prosedur memakai APD setiap kali memeriksa pasien hingga kematian pasien akibat penyakit penyerta, bahkan pada pasien remaja.

Kawal COVID-19's Avatar
Kawal COVID-19Tim administrator situs KawalCOVID19.id

Penulis: dr Anita Jamin

Bulan Mei, saya bertugas di RS Suyoto Bintaro, Jakarta sebagai dokter relawan Komponen Pendukung untuk COVID-19. Berikut beberapa catatan pengalaman saya di sana: 

Ruangan dan nakes diberi pengamanan lebih

Tiap ruang sudah dimodifikasi menjadi ruang isolasi dan dibatasi kaca tebal antara ruang infeksius dan non infeksius. Jadi jangan bayangkan situasinya seperti bangsal rawat inap biasa. 

Di bangsal khusus COVID-19, stasiun perawat berada di luar, dibatasi oleh pintu kaca dengan ruang pasien. Untuk memasuki ruang isolasi, setiap tenaga medis wajib mengenakan APD level 3 yang terdiri dari masker N95, masker bedah, penutup rambut, jubah hazmat dari kaki sampai kepala, apron, pelindung mata, face shield, sarung tangan latex 3-4 lapis, pelindung sepatu, dan sepatu boot. 

Baju ini membuat kami terlihat seperti astronot dan membatasi penglihatan karena tertutup goggle, face shield dan coverall. Panasnya luar biasa, dan terasa sesak saat panik karena wajah tertutup masker N95 yang ditumpuk dengan masker bedah sehingga bernapas saja menjadi tidak nyaman. Selain itu, kami tidak bisa sembarang buka APD, karena kalau dibuka, sebagian besar harus dibuang. Berhubung APD terbatas dan tidak ada yang tahu sampai kapan pandemi ini berakhir, kami tidak boleh sembarangan. Kami selama mungkin berada di dalam, minimal 2-3 jam bahkan pernah 8 jam. 

Ketika pasien punya penyakit penyerta

Kelelahan kami semua terbayar setelah pasien bisa pulang karena tes swab PCR-nya negatif. Namun ada banyak pasien positif COVID-19 yang dirawat inap memiliki komorbiditas. Yang terbanyak kami temui adalah TBC paru, diabetes, darah tinggi, stroke dan obesitas. Kematian pasien seperti ini sungguh di luar kuasa kami.

Tanpa disertai COVID-19, penyakit ini merupakan kasus yang banyak ditemui di Indonesia dan penanganannya sudah standar, tidak selalu kondisinya berat dan membahayakan. Tanpa COVID-19 pun, pasien stroke, darah tinggi, diabetes bisa memburuk kondisinya dan meninggal. Namun, bila penyakit ini ditambah COVID-19, kondisi penyakit akan memburuk sehingga tidak jarang berujung pada kematian.

Pasien remaja yang tidak tertolong

Saya pernah menangani pasien anak remaja 13 tahun. Seharusnya kondisi kesehatannya masih prima karena usianya. Namun, ia datang dengan TBC paru dan COVID-19. Setelah dirawat berminggu-minggu, pasien mengalami sepsis dan kondisinya memburuk, hingga meninggal. Padahal jika menderita TBC paru saja, pasien cukup berobat selama 6-9 bulan di puskesmas untuk bisa sembuh total. COVID-19 mengubah semua kalkulasi ini. 

Keterbatasan dalam merespon cepat

Suatu kali, teman saya baru saja keluar dari ruang isolasi dan sudah mandi, tapi kondisi satu pasien memburuk dan gagal napas. Teman saya harus masuk lagi ke dalam, kembali pakai APD yang butuh waktu 10-15 menit untuk dipakai dengan tepat, sementara kondisi pasien kritis. Ini beda dengan penanganan pasien penyakit normal ketika dokter bisa langsung menghampiri pasien yang membutuhkan penanganan darurat. Semua kondisi ini seringkali membatasi dokter dan perawat sehingga kami tidak bisa maksimal dalam merawat pasien.

Lebih baik mencegah

Masyarakat sering kali menyepelekan penyebaran COVID-19 dan sepertinya mulai bosan dengan PSBB dan protokol kesehatan yang didengungkan pemerintah. Kami ingin mereka tahu penderitaan pasien COVID-19 yang harus dirawat tanpa ditemani keluarga, tanpa didampingi setiap saat oleh perawat dan dokter, menderita sesak napas sendirian, dan bila meninggal pun tidak ditunggui keluarga, apalagi dilihat jenazahnya untuk terakhir kali. 

Memang tidak semua pasien COVID-19 adalah pasien berat dan kritis. Sekitar 80% pasien kondisinya ringan ataupun tidak bergejala. Tetapi yakinkah bahwa kalau terkena, kita akan masuk dalam 80% yang lumayan beruntung itu? Terkadang kita bahkan tidak menyadari komorbiditas yang kita miliki. 

Bila terus-menerus terjadi peningkatan jumlah pasien COVID-19, kapasitas RS dan tenaga medis Indonesia tidak akan sanggup mengatasinya. Jangan sampai rumah sakit kita kelebihan beban seperti Italia karena efek yang Indonesia hadapi jika sampai masuk dalam tahap itu akan lebih parah.

Dunia sudah berubah

Suka tidak suka, mau tidak mau, dunia kita sudah berubah. Dunia setelah corona tidak akan pernah sama lagi seperti sebelum corona karena virus ini akan terus bersama kita. Tapi kita pun tidak bisa terus bersembunyi ketakutan karena roda kehidupan harus terus berjalan. 

Maka yang harus kita lakukan saat ini adalah menerima kenyataan bahwa hidup tidak akan pernah sama lagi seperti dulu. Kebiasaan kita harus diubah! Tenaga medis maupun masyarakat umum harus mulai dengan disiplin menerapkan 4 sehat 5 sempurna kebiasaan baru:

  1. Rajin cuci tangan dengan sabun dan air mengalir. Selalu bawa hand sanitizer kemana pun pergi
  2. Jaga jarak minimal 1-2 meter. Sebisa mungkin diam di rumah dan tidak keluar bila tidak ada urusan penting
  3. Pakai masker kemanapun pergi khususnya bila bertemu dengan banyak orang, usahakan untuk menghindari keramaian orang
  4. Makan makanan bergizi untuk menjaga daya tahan tubuh
  5. Berolahraga teratur 3x seminggu

Jangan meremehkan virus corona namun jangan pula paranoid karenanya. Kenali penyakitnya. Kenali gejalanya. Pelajari cara penularannya. Lakukan upaya pencegahannya. Dengan begitu kita bisa melindungi diri sebaik mungkin ketika perlu melakukan aktivitas penting, seperti bekerja.