Seri Penyintas COVID-19: Perjuangan Mencari Rumah Sakit dan Melewati Masa Kritis
Seorang penyintas di Surabaya mengalami COVID-19 sekaligus demam berdarah. Selama berhari-hari, kondisinya kritis dan nyawanya bergantung pada ventilator. Ia selamat tapi kehilangan nenek tercinta akibat COVID-19.
Penulis: Rezki Aulia Pramudita (penyintas COVID-19 di Surabaya)
Ucapan syukur dan terima kasih tak henti saya sampaikan pada keluarga dan teman-teman yang mendampingi setelah saya melewati salah satu masa paling kritis dalam hidup, yakni menderita demam berdarah sekaligus COVID-19. Daya tahan saya melemah karena terpapar virus Dengue bersamaan dengan paparan virus SARS-CoV-2 sehingga saya menjadi pasien COVID-19 dengan komorbiditas, ditambah dengan hipertensi dan obesitas. Selama sakit, saya tidak merasakan sesak napas, tapi hasil rontgen menunjukkan banyaknya lendir/cairan yang tertahan di paru ‘pneumonia’. Saya kemudian dirawat di ruang isolasi rumah sakit. Namun, setelah 3-4 hari, kondisi saya tidak kunjung membaik, apalagi asupan makanan sedikit karena saya sangat tidak berselera makan, sesuatu yang sebelumnya jarang terjadi.
Kondisi saya mencapai titik terendah ketika saya tidak sadarkan diri. Saturasi oksigen menurun hingga 40%. Saya sempat gagal napas dan memerlukan bantuan ventilator sehingga harus dirujuk ke RS lain dalam keadaan tidak sadar. Proses mendapatkan ruang High Care Unit (HCU) tidak mudah karena hampir semua RS penuh terisi oleh pasien COVID-19. Jika bukan karena pertolongan Allah SWT, rasanya mustahil saya bisa mendapatkan ruangan. Secara “kebetulan”, ada seorang pasien yang baru saja dipindahkan karena kondisinya tidak lagi gawat. Tapi masalah belum selesai. Mesin ventilator jumlahnya terbatas sehingga saya harus antri untuk menggunakannya. Untunglah, saya akhirnya bisa menggunakan satu-satunya ventilator yang tersedia.
Gambar 1. Hasil rontgen
(Sumber: dokumentasi pribadi penulis)
Kondisi tubuh yang melemah dan keterbatasan fasilitas menjadikan momen tersebut semakin kritis. Saya tidak bisa membayangkan suasana batin keluarga saya, terutama adik saya yang adalah seorang nakes dan secara langsung membantu menginisiasi semua prosedur medis yang dilakukan terhadap saya saat itu. Dari kacamata seorang dokter, dengan kondisi saya yang memprihatinkan, memang kecil peluang bagi saya untuk selamat.
Dalam kondisi terbius dan menggunakan mesin ventilator, muncul diagnosis medis lain berupa penyakit yang selama ini tidak pernah saya derita, seperti komplikasi peradangan otot jantung, syok kardiogenik (karena ketidakmampuan jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh), gagal jantung akut, dan hipotirodisme (kelainan akibat kekurangan hormon tiroid). Dalam 10 hari saja, berat badan saya turun sebanyak 15 kg. Hypertriglyceridemia mencapai poin 800, padahal biasanya separah-parahnya hanya 200-300, kisaran yang sebenarnya sudah tergolong tinggi. Salah satu akibat jika trombophilia/coagulopathy darah mengental adalah pembuluh darah jantung ataupun paru bisa tersumbat.
Selama dibius saya tidak merasakan apa-apa kecuali dingin dan tenggorokan terasa amat sakit (mungkin karena terdapat selang ventilator). Di mata saya, semua terlihat putih. Saat itu, saya ingin teriak kesakitan dan minta tolong, tapi suara pun tidak bisa keluar. Rasanya begitu sepi saat kita sendirian menghadapi maut …
Gambar 2. Penulis saat dalam kondisi terbius dengan ventilator
(Sumber: dokumentasi pribadi penulis)
Saya dapat disadarkan kembali setelah 10 hari dalam pengaruh anastesi/bius karena paru saya dianggap bisa memompa udara tanpa bantuan ventilator. Setelah sadar, setiap hari darah saya diambil untuk berbagai pemeriksaan lab, termasuk mengetahui kandungan gas dalam darah/BGA. Ini sangat melelahkan, ditambah dengan bunyi pulse monitor yang aktif selama 24 jam yang tidak menambah rasa tenang.
Beberapa hari kemudian, selang dan infus dilepas meski kondisi saya masih lemas dan belum sadar penuh karena pengaruh bius. Lamat-lamat saya mendengar pasien di seberang ruangan meninggal dunia, berita yang makin sering saya dengar dari pengeras suara setelah saya dipindahkan ke ruang isolasi. Dokter menyampaikan bahwa saya adalah pasien pria yang dapat bertahan, sedangkan pasien lain yang berjuang bersama saya meninggal dalam proses perawatan.
Saya dinyatakan sembuh dan boleh rawat jalan setelah hasil 2 kali PCR/swab test negatif. Meski demikian, saya masih harus menjalani isolasi mandiri di rumah dan 1x tes lagi sampai boleh bertemu dengan anak dan istri dua minggu berikutnya. Masa isolasi dan menunggu terasa lama. Saya sendiri termasuk beruntung karena hasil swab test langsung negatif, tidak seperti pasien lain yang memerlukan 5-6 kali swab test hingga dinyatakan negatif.
Selama masa isolasi, setiap hari saya masih perlu memantau tekanan darah, saturasi oksigen, dan suhu tubuh. Kondisi fisik dan kebugaran pasien COVID-19 tidak serta-merta pulih sehingga saya rutin mengonsumsi vitamin dan suplemen antioksidan guna memulihkan kondisi dan mencegah fibrosis paru. Saya bahkan masih mudah lelah, pening, dan nyeri dada hingga kini. Untuk melatih kapasitas paru dan otot rangka yang melemah akibat dibius lama, saya melakukan latihan fisioterapi mandiri. Belum lagi trauma psikologis yang saya alami membuat saya sangat cemas setiap kali harus berinteraksi dengan orang lain, seperti kontrol ke dokter dan cek kesehatan di lab.
Meski sekarang saya bisa menghirup udara dengan lebih bebas, saya kehilangan eyang putri kami tercinta yang meninggal dunia akibat COVID-19. Kesedihan ini disusul dengan berita duka dari beberapa sahabat, termasuk dokter yang ikut mendoakan saya selama masa kritis, yang berpulang ketika berjuang melawan penyakit yang sama.
Gambar 3. Eyang putri penulis yang kini telah berpulang
(Sumber: dokumentasi pribadi penulis)
Dengan pengalaman langsung menderita COVID-19 dan kehilangan orang-orang terdekat, saya miris rasanya melihat tayangan berita yang menampilkan tempat wisata yang mulai banyak dikunjungi atau sekolah yang sudah melakukan proses belajar mengajar secara tatap muka. Saya hanya bisa berharap kalian semua tidak perlu merasakan apa yang saya alami. Ini bukan soal menyebar ketakutan melainkan menebar kewaspadaan. Kalau Anda abai dan merasa baik-baik saja, bukan berarti tidak ada virus di dalam tubuh Anda. Sekalipun Anda kuat, belum tentu keluarga dan kerabat Anda kondisinya baik-baik saja jika terpapar dari Anda. Untuk itu, mari saling menjaga dan sehat bersama.