Pandemic Fatigue
Bosan dengar masalah Covid? Inilah kenapa anda mengalami kelelahan pandemi atau pandemic fatigue
Semakin lama pandemi berjalan, semakin sulit bagi kita untuk mengikuti panduan pencegahan COVID-19
Kelelahan macam ini tidak hanya pada masalah pencegahan pandemi, seperti menjaga jarak fisik, pakai masker, dan mencuci tangan. Pada semua perubahan perilaku terkait kesehatan, termasuk meningkatkan kegiatan fisik, makan dengan menu sehat dan mengurangi rokok, paling tidak setengah dari yang melakukan ini kembali seperti dulu dalam jangka waktu enam bulan.
Mari kita lihat kembali di saat awal pandemi. Mayoritas masyarakat mengikuti aturan diam di rumah. Beberapa kota mengalami tingkat kematian yang parah, dan kasus baru bermunculan dengan cepat di berbagai wilayah di negara.
COVID-19 telah menyebabkan orang membeli dan menyimpan berbagai barang kebutuhan, baik melalui aplikasi belanja antaran atau berbelanja di toko secepat mungkin sambil menghindari orang lain. Saat tiba di rumah, barang belanjaan dilap, tangan dicuci, bahkan kemudian mandi dan mengganti pakaian.
Akan tetapi sampai sekarang, masih belum ada obat atau vaksin yang bisa menangani COVID-19 dan angka infeksi terus meningkat. Hampir 20.000 penduduk Indonesia meninggal karena COVID-19, dan risiko infeksi masih tetap di angka yang sama. Sekarang adalah waktu yang tepat bagi anda untuk memperkuat tekad and mendedikasikan diri untuk melakukan upaya pencegahan. Namun, kenapa justru makin sedikit orang yang mematuhi protokol kesehatan?
Sebagai periset kesehatan masyarakat yang menyelidiki perilaku kesehatan, saya tahu ada beberapa alasan psikologis kenapa rasa lelah ini muncul. Untungnya, riset ini juga memberikan beberapa taktik untuk membantu anda tetap aman dan menjaga kesehatan mental dan fisik anda.
Seberapa parah, sih, sebenarnya?
Satu penjelasan kenapa orang tidak lagi melakukan protokol pencegahan terletak pada dua faktor dari perilaku kesehatan:
- Tingkat kerawanan yang dipahami. Seberapa mungkin anda tertular penyakit ini?
- Tingkat keparahan yang dipahami. Kalau anda tertular, akan seberapa parah?
Ada ratusan ribu kasus Covid di Indonesia, tetapi masih tidak sampai 3% dari total populasi. Tergantung dari wilayah tempat tinggal anda, mungkin hanya ada sebagian kecil sekali, bahkan tidak ada, orang yang anda kenal yang terkena COVID-19 walaupun angka nasionalnya tinggi. Ini bisa mengurangi pemahaman tingkat kerawanan.
Saat dokter mulai mempelajari COVID-19 lebih jauh dan metode perawatan pun membaik, tingkat kematian ikut menurun. Bila pada bulan Mei tingkat kematian ada di atas 5%, namun sekarang, tingkat kematian berada di bawah 3%. Peningkatan informasi dan metode perawatan ini bisa mengurangi pemahaman tingkat keparahan.
Orang melihat tren seperti ini dan terlena pada kepercayaan bahwa mereka cukup sehat untuk melawan Covid-19 atau merasa bahwa walaupun sakit, pasti akan sembuh. Toh, pikir mereka, pandemi sudah berjalan lebih dari sepuluh bulan, dan saya masih sehat sampai sekarang.
Orang lain juga begitu.
Norma sosial adalah aturan tidak tertulis mengenai cara anda berperilaku di masyarakat. Sementara norma sosial bisa dikomunikasikan dengan berbagai cara, salah satu sarananya adalah melalui observasi perilaku. Bagaimana orang lain berperilaku dalam situasi yang sama? Cara ini memberikan petunjuk bagaimana kita harus berperilaku.
Saat pemerintah memutuskan untuk membuka tempat hiburan, restoran, sasana kebugaran, tempat perbelanjaan dan bioskop, kita mungkin melihat ini sebagai sinyal bahwa tempat-tempat ini sudah “aman” untuk dikunjungi. Juga, saat kita melihat orang bersosialisasi tanpa masker dan tidak melakukan penjagaan jarak, ini terlihat “normal” sehingga mungkin membuat kita lupa melakukan protokol kesehatan. Ini mirip dengan kondisi di mana kelompok pertemanan bisa mempengaruhi konsumsi alkohol dan rokok.
Keinginan untuk bersosialisasi
Upaya penjagaan jarak telah meningkatkan rasa isolasi sosial dan kesepian bagi beberapa orang, terutama mereka yang berusia lanjut dan yang tinggal sendiri.
Manusia secara alami adalah makhluk sosial, karenanya isolasi sosial bisa menjadi beban. Hal ini bisa berujung pada berbagai masalah kesehatan, termasuk darah tinggi dan kesulitan tidur. Orang-orang mungkin saja bisa berhenti berkumpul dengan teman-temannya selama beberapa bulan, tetapi untuk melakukannya dalam waktu yang berkepanjangan akan sulit, dan kebanyakan orang akan merasakan dampak buruk tidak adanya interaksi sosial dalam waktu lama ini.
Karena itu, kunci untuk menjaga kondisi mental adalah menyeimbangkan antara penjagaan jarak fisik dengan koneksi sosial. Periset paham bahwa mengenang masa-masa di mana seseorang merokok atau mengonsumsi alkohol akan memperbesar kemungkinan orang tadi kembali merokok atau mengonsumsi alkohol. Dalam kondisi pandemi, ini sama seperti kita mengenang dunia sebelum Covid-19 melanda. “Ngopi-ngopi cantik” dengan teman sepulang kerja, main basket dengan teman sehobi, atau nonton konser amat dirindukan orang-orang di masa-masa seperti sekarang. Sulit untuk tidak berbicara mengenai hal-hal yang tidak lagi bisa kita lakukan sekarang. Namun walaupun kenangan terasa indah dibicarakan, hal ini bisa mendorong kita melakukan tindakan berisiko.
Tetap menjaga keamanan dan kewarasan
Angka kasus meningkat. Kondisi cuaca memburuk. Hujan dan kemungkinan banjir mengintai. Keluar rumah dan bertemu orang pun semakin sulit. Orang-orang harus meningkatkan upaya pencegahan untuk jangka waktu beberapa bulan ke depan, menjaga keamanan tanpa menambah beban isolasi sosial.
Beberapa rekomendasi harus dipatuhi dengan ketat. Kebiasaan mencuci tangan meningkat drastis di awal pandemi. Semoga saja hal ini akan tetap sama, karena ini adalah cara paling mendasar untuk menghindari penyakit menular lainnya, dan sesuatu yang bisa dilakukan terus-menerus tanpa ada dampak pada kesehatan mental.
Penggunaan masker juga penting. Sebuah studi di bulan Agustus mengungkapkan bahwa 85% orang AS kini menggunakan masker saat berbelanja di toko. Ini harus dipertahankan untuk mengurangi kasus penularan baru di masa mendatang.
Sekarang tinggal menjaga jarak fisik aman yang mungkin adalah hal yang paling sulit. Ahli kesehatan masyarakat seringkali mendengungkan pendekatan pengurangan bahaya untuk perilaku yang sulit dihentikan total. Ini adalah cara untuk mengurangi, namun tidak menghilangkan, risiko yang timbul dari suatu perilaku. Kerumunan dan kumpulan orang dalam jumlah besar tetap harus dihindari. Bila Zoom dan percakapan video lainnya sudah mulai terasa basi, temu kumpul ukuran kecil mungkin bisa dilakukan. Tetapi, kita tetap harus hati-hati, karena walaupun sudah ada cara untuk menekan risiko, berkumpul dengan orang lain hanyalah aman apabila semua orang yang berkumpul juga mempraktikkan protokol kesehatan yang benar.
Kelelahan pandemi bukanlah bualan, dan menjaga kewaspadaan setiap saat, berbulan-bulan, amat melelahkan. Memahami tentang masalah kelelahan pandemi ini mungkin bisa membantu memperkuat tekad kita semua.
Disadur dari The Conversation,”Sick of Covid-19? Here’s why you might have pandemic fatigue”. Dipublikasi pada tanggal 23 Oktober pukul 07.27 malam WIB. Pranala luar