Catatan Penyintas COVID-19: Bernatal di Wisma Atlit
Ketika berkumpul bersama keluarga, protokol kesehatan sering terlupakan dan menjadi celah penularan COVID-19. Penulis menceritakan kronologi terpaparnya dia dan keluarganya oleh COVID-19 sehingga merayakan Natal di Wisma Atlit
Nama saya TT (33 tahun). Saya bekerja di bidang marketing dan advertising di sebuah media. Sedangkan suami saya, JC (34 tahun) punya usaha sendiri, walau harus tutup karena pandemi. Kini ia membantu usaha ayahnya yang menyewakan mobil, sambil sesekali mengantar-jemput tamu. Saya sendiri WFH dan hanya ke kantor untuk menghadiri rapat koordinasi.
Tanggal 6 Desember, tepat tiga hari setelah merayakan ulang tahun keponakan di rumah bersama Mama, kakak perempuan, ipar, dan tiga keponakan, saya merasa tidak enak badan. Saya tidak curiga sehingga hanya minum obat anti nyeri dan tolak angin karena hanya merasa meriang dan linu dan suhu tubuh di bawah 37,5 dercel.
Sehari sesudahnya (7 Desember), mendadak JC muntah hebat, menggigil, bahkan tidak bisa bangun dari ranjang. Malam hari itu juga saya mendapat kabar bahwa team manager saya positif COVID-19. Sedangkan pada tanggal 1 Desember, kami bertemu dalam rapat koordinasi, bersama dengan anggota tim lain. Segera saya tes swab di RSPI Puri Indah.
Keesokan harinya saya mendapat hasil positif, dengan CT value 31. Saya segera mengabari keluarga yang menghadiri acara ulang tahun beberapa hari sebelumnya. Saya juga memeriksakan JC, anak kami yang bernama J (3 tahun), dan mbak D, pengasuh J. Semalaman saya terjaga karena cemas menanti hasil tes mereka. Kondisi suami pun belum membaik walau sudah minum obat. Kami mengkonsumsi obat COVID-19 dari RSPI yang sebagian besar adalah vitamin. Selain itu, kami minum obat Tiongkok kiriman keluarga.
Kecuali kakak yang mengalami batuk pilek, mama, kakak, ipar, dan keponakan saya terdiagnosis negatif. Sedangkan suami saya positif, dengan CT value 15. Demikian pula J dengan CT value 34. Adapun Mbak D positif dengan CT value 14. Saya pun mulai panik, apalagi melihat kondisi suami yang tidak kunjung membaik, malah mulai batuk. Akhirnya saya menghubungi Wisma Atlet (WA) untuk mencari informasi mengenai isolasi. Dalam satu hari saya mendapat kabar bahwa kami mendapat satu unit isolasi untuk keluarga. Untuk itu kami harus masuk jam 16.00 hari itu juga atau kamar tersebut akan diberikan kepada orang lain. Karena tidak punya mobil, saya meminta bantuan kakak laki-laki saya untuk mengambil mobil Mama, lalu menitipkan kunci ke satpam apartemen kami di Jakarta Barat. Dalam keadaan tidak sehat, suami menyetir kami ke WA. Jam 19.00, kami masuk ke unit isolasi.
Pada hari pertama di WA, dokter mengunjungi dan mengecek kondisi kami, lalu meresepkan sepaket obat. Mbak D, J, dan saya mendapat vitamin dan obat penurun panas. Sementara itu, JC mendapatkan paket obat yang lebih lengkap karena hasil rontgen menunjukkan bayangan putih di paru-parunya.
Kondisi suami akhirnya membaik pada hari ketiga isolasi. Namun, kini justru kondisi saya yang memburuk, dengan hasil rontgen yang menunjukkan bercak putih di paru-paru. Mungkin karena stress, lalu tidak cocok dengan makanan WA yang cenderung kering dan digoreng sehingga saya sulit makan, kondisi saya drop. J pun susah makan karena ia terbiasa dengan makanan berkuah. Untuk itu, Mama mengirimkan kami kuah ayam, lengkap dengan panci pemanas, kompor listrik, dan kukusan kecil.
Pada hari ketujuh, kondisi suami membaik. Kondisi saya tetap sama. Mbak D pun demikian dengan keluhan perut mual.
Memasuki hari ke-10, saya mulai merasa terkurung. Kami memang tidak bisa keluar, hanya bisa berjemur pagi di lapangan selama 30 menit. J pun kini resah dan rewel dan selalu meminta bicara via video call dengan kakek dan neneknya. Untung teman-teman dan keluarga sangat suportif. Ada saja yang mengirimkan video lucu, pesan menanyakan kabar, makanan, vitamin, dan mainan untuk J. Jaringan internet WA pun cukup bagus sehingga kami bisa menonton film lewat ponsel atau tablet; lumayan untuk menghilangkan rasa bosan.
Kunjungan tim perawat dua kali sehari juga sangat menghibur. Walaupun mereka pakai APD lengkap, kami tahu siapa saja mereka karena nama yang tertera di dada dan punggung baju. Mereka membawa keceriaan dengan memberikan semangat dan penghiburan, sehingga saya tidak merasa terlalu putus asa.
Memasuki hari ke-12, seharusnya saya bersiap-siap agar dapat pulang dalam 2 hari untuk merayakan Natal di rumah. Akan tetapi, saya merasa sesak nafas, sehingga kami semua kembali menjalani pemeriksaan. Hasil rontgen menunjukkan pembengkakan pada paru-paru saya. Maka kami pun kembali menjalani isolasi selama seminggu ke depan. Malamnya pun saya terpaksa pindah ke unit perawatan karena sesak nafas dengan saturasi oksigen turun ke 80. Saya benar-benar down, apalagi ketika dokter mewajibkan saya tidak turun dari ranjang dan istirahat total.
Pada tanggal 25 Desember (hari ke-17), untuk pertama kalinya saya merayakan Natal terpisah dari suami. Kami merayakan Natal dengan video call dan mengikuti misa online di Katedral. Saya menangis tersedu-sedu sampai sesak nafas sehingga harus terapi inhalasi dan oksigen dengan sungkup.
Kehadiran seorang relawan, Mbak S, sungguh menghibur. Ia menemani saya dan memegangi tangan saya, sambil bercerita bahwa dia pun melewatkan Lebaran di WA karena bertugas. Secara khusus Ia mencarikan lagu-lagu Natal di Spotify dan memutarkan untuk saya selama hampir satu jam sebelum pamit karena shiftnya selesai.
Natal ini sungguh berbeda, dengan saya terbaring di ranjang memakai sungkup oksigen, diiringi suara-suara alat elektronik alat saya dan pasien lain di bangsal. Oh iya, kami berenam di unit perawatan dalam kondisi harus bedrest dan tidak mampu bercakap-cakap karena mayoritas memakai sungkup.
Keesokan hari (26 Desember), badan saya terasa lebih segar Nafas pun tidak seberat sebelumnya, walau masih tersengal-sengal kalau harus duduk tegak saat makan. Kini saya tidak perlu sungkup, hanya pakai selang biasa.
Pada tanggal 27 Desember, dokter berkunjung dan memeriksa. Ternyata paru-paru saya membaik. Ia meminta keluarga kami untuk kembali menjalani tes. Katanya, kalau hasil tes kami bagus, mungkin besok kami bisa pulang. Saya berdoa sekuat tenaga agar hasil tes bagus.
Tanggal 28 Desember adalah hari yang amat membahagiakan kami. KAMI BISA PULANG! karena kondisi suami maupun saya sudah jauh membaik.
Saat kami sekeluarga keluar, dengan Mbak S mendorong saya di kursi roda, hampir semua yang bertugas di lobby mengucapkan, “Selamat pulang! Jangan balik lagi, ya! Hati-hati di rumah”. Saya merasa seperti “diusir”, tetapi pengusiran ini sangat membahagiakan hati.
Oh iya, biarpun kami sudah boleh pulang, kami masih harus isolasi mandiri di apartemen selama 14 hari. Setiap pagi, sore, dan malam kami wajib mengukur suhu dan melaporkan hasil lewat WhatsApp. Seminggu dari sekarang, kami harus tes PCR untuk memastikan kondisi kami betul-betul sehat.
Mohon doa agar hasil tes kami sekeluarga dan Mbak D negatif, sehingga bisa kembali beraktivitas. Saya sangat berterima kasih atas semua dukungan keluarga dan teman. Saya pun bersyukur dan berterima kasih kepada tim dokter, perawat, dan relawan, terutama Mbak S, yang telah membantu kami melewati 19 hari isolasi yang sangat berat ini.
Pesan saya, jangan berpikir bahwa karena muda dan merasa sehat, kalian tidak akan tertular. Jangan pernah membuka masker saat bicara, apalagi bila berada di ruangan tertutup dan bertemu orang lain yang tidak jelas kondisi kesehatannya. Jangan sampai kalian jadi pembawa penyakit ke keluarga. Dan, jangan berpikir kalau sudah sembuh, kalian akan kembali seperti semula. Hingga saat ini nafas saya masih pendek. Demikian juga dengan suami saya walau kondisinya lebih baik.
Akhir kata, COVID-19 itu nyata, bukan hoax. Jadi, jangan sepelekan.