Lanjut ke konten

Seri Penyintas COVID-19: Saya Penyintas dan Mengalami Long COVID

Cerita Juno, penyintas COVID-19 yang mengalami gejala Long COVID.

Kawal COVID-19's Avatar
Kawal COVID-19Tim administrator situs KawalCOVID19.id

Kilas balik ke Maret 2020, saya mengalami demam, batuk parah, lemas, keringat malam, diare, mual dan ageusia (tidak bisa merasakan makanan). Gejala pertama itu saya rasakan pada 13 Maret. Karena kondisi makin parah, saya pun berobat ke RS. Dokter pertama yang memeriksa saya waktu itu dokter spesialis penyakit dalam. Setelah dua kali berobat dan gejala yang bertambah berat, akhirnya saya dirujuk ke dokter spesialis paru dan di diagnosa Bronchopneumonia dengan gambaran foto rontgen thorax yang tidak baik. Saat itu dokter masih belum merujuk ke arah COVID-19 dan memberikan obat-obatan. Setelah tidak mengalami perbaikan saya kembali berobat dengan keadaan yang sudah semakin lemas dan tentunya batuk yang tidak bisa terkontrol. Melihat kondisi saya, dokter menyarankan untuk rawat inap.

Selama rawat inap di RS, saya dipasangi infus selama enam hari dan pada hari ke-7, RS melakukan swab test PCR. Kondisi saya perlahan membaik, dan pada hari ke-9 saya diizinkan pulang dan diminta isolasi mandiri sampai hasil swab PCR saya keluar. Hasil swab PCR keluar pada 15 April 2020, 15 hari setelah pemeriksaan dengan hasil positif. Saya pun mencari informasi apa yang harus saya lakukan. Saat itu saya mulai merasakan nyeri di dada kiri. Akhirnya saya memutuskan untuk pergi ke RSDC Wisma Atlet, tak lupa membawa semua dokumen medis termasuk surat hasil swab test positif berikut baju ganti guna mempersiapkan kemungkinan dikarantina saat itu juga.

Benar saja, begitu sampai di RSDC Wisma Atlet, saya diminta untuk karantina. Saat dilakukan pemeriksaan awal oleh dokter di IGD, tekanan darah saya mencapai 150/92. Belum pernah setinggi ini sebelumnya. Fasilitas di Wisma Atlet sangat baik dengan kamar yang nyaman layaknya apartemen kelas menengah. Walaupun saya dikarantina tetapi saya tidak sendirian. Saya diberi obat-obat sesuai standar pengobatan COVID-19 saat itu dengan dosis untuk lima hari saja.

Selama di Rumah Sakit Darurat Covid (RSDC) Wisma Atlet keluhan yang saya rasakan semakin banyak. Nyeri dada, palpitasi (jantung berdebar-debar) saat tidur, rambut rontok parah dan nyeri di sekujur badan seperti ditusuk jarum suntik. Dokter melakukan cek rekam jantung (EKG) dan hasilnya jantung saya baik-baik saja. Dokter tidak dapat melakukan pemeriksaan lebih lanjut karena keterbatasan alat di RS darurat ini. Saat itu saya juga sempat dikonsulkan ke psikiater karena mereka mencurigai saya mengalami gangguan psikis, entah itu stress atau cemas.

Saya dikarantina di RSDC Wisma Atlet total selama satu bulan. Saat itu aturannya masih awal sekali, dimana pasien dinyatakan sembuh setelah dua kali berturut-turut swab PCR negatif.

Setelah negatif dari COVID-19, saya lanjut berobat untuk menyelidiki keluhan yang masih saya rasakan. Saya kembali ke RS pertama tempat saya dirawat untuk observasi selama delapan hari atas keluhan-keluhan lanjutan yang masih saya alami. Selain keluhan yang saya rasakan saat di Wisma Atlet, saya juga merasa seperti orang linglung (istilah medisnya Delirium), rasa tidak nyaman di tenggorokan saat minum seperti ada yang nyangkut, serta telinga berdenging (Tinnitus). Observasi dokter menemukan masalah di permukaan luar tenggorokan dan banyak benjolan getah bening (lymphadenopathy) di bawah rahang saya.

Setelah keluar dari RS, saya belum merasa fit sepenuhnya dan beberapa keluhan masih saya alami. Delirium (gangguan mental serius yang menyebabkan penderita mengalami kebingungan parah dan berkurangnya kesadaran terhadap lingkungan sekitar) yang saya rasakan masih bertahan sampai lima bulan setelah dinyatakan negatif dari COVID-19. Keluhan-keluhan yang mengganggu aktivitas berlangsung sampai enam bulan, hingga akhirnya saya terpaksa berdamai dengan keluhan-keluhan ini. Dokter pun tak jarang mencurigai kemungkinan efek psikologis sebagai penyebab beragam keluhan “aneh” yang saya rasakan. Sementara saya tidak merasa mengalami kendala psikis.

Pada bulan Juni 2020, ditengah kegalauan atas keluhan lanjutan yang saya rasakan, saya menemukan support group khusus penyintas COVID yang terkena gejala COVID lanjutan (Long COVID) di luar negeri. Di grup ini, saya bertemu banyak orang yang mengalami keluhan-keluhan yang sama seperti saya. Ternyata saya tidak sendirian. 

Long COVID menurut NHS (National Health Service – UK) adalah gejala akibat COVID-19 yang bertahan lama hingga berbulan-bulan setelah sembuh dari infeksi. 

Pada bulan Agustus 2020, saya mendirikan support group untuk penyintas COVID-19 yang bernama Covid Survivor Indonesia (CSI) sebagai wadah saling berbagi dan saling mendukung antara penyintas, terutama mereka yang masih mengalami gejala lanjutan. Syarat untuk bergabung hanya perlu mengisi pertanyaan mengenai tanggal dinyatakan positif dan alasan ingin bergabung.

Dari sharing teman-teman di group CSI, banyak yang mengalami keluhan Long COVID seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), kembung, phantosmia (mencium bau yang tidak ada, seperti bau ban kebakar, bau karbol, bau logam), vertigo, penglihatan kabur atau benda terlihat berbayang (double vision), mata panas, kehilangan indra penciuman (anosmia), sulit berkonsentrasi (brain fog) dan kelelahan yang dirasakan terus menerus.

Pada 21 Agustus, saya dan teman-teman penyintas dengan Long COVID mendapat kesempatan bertemu dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) via zoom meeting. Kami diterima langsung oleh Direktur Jenderal WHO, Dr. Tedros, untuk menyampaikan keluhan para penyintas COVID yang masih merasakan gejala lanjutan atau Long COVID. Kami menuntut 3R: Research (penelitian), Recognition (pengakuan) dan Rehabilitation (rehabilitasi) untuk Long COVID. Saat itu WHO menerima dengan hangat dan segera membuat rilis ke media perihal pertemuan dengan kami. Hasil pertemuan tersebut, pada awal Desember 2020 Indonesia resmi mengakui Long COVID. Dengan adanya pengakuan ini, besar harapan kami para penyintas dengan Long COVID, ada perhatian lebih lanjut baik dari Kemenkes atau IDI dalam penanganan diagnosa, terapi dan pengobatan atau penelitian lebih lanjut tentang Long COVID di Indonesia. Sampai saat ini Long COVID masih terus diteliti di berbagai negara, tidak ada yang tahu sampai kapan keluhan dirasakan. Sama seperti gejala COVID-19 yang bisa berbeda tiap orangnya, keluhan Long COVID ini bersifat individual.

Saat ini, setelah 9 bulan dinyatakan sembuh, saya masih merasakan keluhan pembesaran kelenjar getah bening di bawah rahang, phantosmia (mencium bau yang tidak ada), hipertensi (tekanan darah tinggi), debar jantung, dan perut kembung. 

Pesan saya kepada teman-teman; jangan sampai terkena COVID-19 untuk menghindari Long COVID. Selalu gunakan masker dan patuh terhadap protokol kesehatan. Kalian mungkin tidak mati, tetapi kalian mungkin tidak bisa lolos dari keluhan-keluhan lanjutan yang akan menurunkan kualitas hidup penderitanya.