Lanjut ke konten

Seri Penyintas COVID-19: Pengalaman Penderita Diabetes Terinfeksi COVID-19

Setelah bertugas sebagai panitia KPPS (yang menyiapkan Pilkada di TPS masing-masing), penulis mengalami demam tinggi. Hasil rapid test non-reaktif, dan diagnosa pertama adalah typhus. Setelah beberapa hari di RS, kondisi tidak membaik dan hasil rontgen paru-paru menunjukkan infeksi COVID-19 yang divalidasi dengan hasil swab PCR positif.

Kawal COVID-19's Avatar
Kawal COVID-19Tim administrator situs KawalCOVID19.id

“Pak Usman suspek COVID-19,” ujar dokter di hari kelima perawatan saya di RS Theresia (Kota Jambi). Ia menambahkan hasil rontgen memperlihatkan banyak flek di paru-paru, terutama di bagian kanan. Untuk memastikan, saya harus menjalankan tes swab.

Sepeninggal dokter, saya masih shocked dengan status suspek tersebut. Apalagi  sebagai penderita diabetes melitus, saya kerap mendapat kabar bahwa cukup banyak penderita diabetes yang terpapar COVID-19 meninggal dunia.

Sudah lebih dari 15 tahun saya menderita diabetes. Untuk mengendalikan kadar gula, selama 2 tahun terakhir saya mengandalkan suntikan insulin. Saat ini kadar gula puasa saya tergolong rendah dan stabil, sekitar 130, sementara yang sewaktu sekitar 180. Bandingkan dengan 6 bulan lalu ketika kadar gula puasa saya mencapai 250 dan sewaktu mencapai 370.

Selain itu, saya memiliki darah tinggi dan pernah mencapai tensi 170/110. Namun karena rutin mengkonsumsi obat penurun tensi, tegangan darah saya sekarang stabil.

Ketakutan terus menguasai saya. Bisakah saya melewati masa kritis nanti? Lalu, bagaimana dengan biaya perawatan saya yang saat ini sedang opname menggunakan kartu BPJS dengan diagnosis demam berdarah? Jika nanti saya positif COVID-19, maka biaya perawatan RS akan dibebankan ke saya dan saya harus pindah ke RS rujukan COVID-19.

Untuk melakukan tes swab, saya memiliki dua pilihan, melalui RS pemerintah yang tanpa biaya atau RS dr. Bratanata dengan biaya sekitar Rp2 juta termasuk APD petugas. Hasil tes swab RS pemerintah keluar dalam seminggu hingga sepuluh hari, sedangkan  RS dr. Bratanata hanya membutuhkan waktu 10 jam dengan membayar kontan. Yang menjadi masalah, saldo di rekening saya tinggal belasan ribu rupiah. 

Karena status suspek itu, saya harus pindah ke kamar isolasi dengan biaya kamar Rp500 ribu per hari yang tidak ditanggung BPJS. Belum lagi biaya APD dan masker dokter yang berkunjung, yaitu sekitar Rp200 ribu per hari.

Dari sejumlah teman yang saya hubungi untuk meminta bantuan, salah satu bersedia membantu menalangi biaya tes swab. Hasil tes swab keluar pada hari keenam perawatan dan saya pun dinyatakan positif COVID-19. 

Pada saat yang bersamaan, tagihan biaya perawatan keluar. Karena tidak punya uang sama sekali, saya kembali menghubungi teman-teman untuk meminta bantuan. Kali ini saya menyertakan video diri saya. Dalam kurun waktu setengah hari, terkumpul dana Rp3,1 juta, walau belum mendekati jumlah tagihan yang senilai Rp10,4 juta tersebut. 

Tak lama kemudian pihak rumah sakit meminta penjelasan saya karena mendapat kiriman video tersebut. Saya pun memaparkan bahwa saya tengah meminta bantuan dana biaya perawatan RS dari teman-teman. Lalu, saya memberanikan diri menanyakan apakah saya boleh tetap pindah ke RS rujukan dengan dana yang baru terkumpul tersebut. Akhirnya  pihak RS membuat kebijakan pelunasan memperbolehkan saya melunasi biaya perawatan RS dengan uang seadanya dan mencicil sisa tagihan selama dua bulan dengan jaminan KTP.

Pada hari kedelapan (2 Desember, sekitar pukul 22.00 WIB), saya pindah ke RSUD H. Abdul Manap. Sebelum berangkat, perawat RS Theresia meminta saya menandatangani surat pernyataan bahwa selama perawatan nanti, saya bersedia tidak ditunggui keluarga dan tidak dijenguk oleh siapa pun.

Pada saat pindah, kondisi saya sudah parah. Bahkan demam saya kambuh malam itu. Seluruh badan saya terasa sakit. Saya pun mengalami sesak nafas yang hebat meski sudah mendapat bantuan ventilator. Kepala saya sangat pusing. Saya pun tidak bisa bangkit dan merasa lemas. Tidak ada yang menemani saya di ruang perawatan. Sungguh saya merasa tersiksa. Tidur pun saya tidak bisa.

Saya pasrah. Sepanjang malam saya melafalkan kalimat lailahaillallah, tiada Tuhan selain Allah. Jika Tuhan berkehendak umur saya hanya sampai di situ, saya pasrah. Saya berserah diri.

Saya ditempatkan di ruang perawatan bersama seorang pasien. Sedari kedatangan saya, ia tidak bicara, hanya terbaring dengan peralatan monitor yang berkedip-kedip di dekat ranjang. Sejumlah kabel tersambung ke tubuhnya, beserta selang infus dan ventilator. Monitor mengeluarkan sebuah irama yang begitu-begitu saja dengan suara keras memenuhi seisi kamar perawatan.

“Pak, Bu…,” saya coba memanggil pasien tersebut, tanpa tahu apakah ia lelaki atau perempuan. Tak ada jawaban. “Pak….” Hening. ‘Bu….” Hanya suara monitor tuut…tuut…tuut yang terdengar. Dia tidak menjawab, bergerak pun tidak.

Ternyata pasien tersebut sudah beberapa hari tidak sadar diri. Yang lebih mengejutkan, dia juga menderita diabetes. Ya, diabetes, penyakit yang menjadi momok ketika mendapat serangan COVID-19.

Ruangan perawatan tetap sepi dan sunyi. Hanya suara monitor medis pasien sebelah yang berbunyi dari siang hingga malam. Hingga akhirnya keesokan pagi, terdengar percakapan dua perawat yang melakukan pemeriksaan rutin bercakap-cakap, “Bapak ini sudah meninggal dunia.”

Hati saya bergetar. Cerita pasien COVID-19 dengan penyakit penyerta diabetes meninggal dunia tidak hanya saya tonton di televisi dan baca dari portal-portal berita online. Kisah itu saya saksikan dengan mata kepala sendiri. Apakah saya akan menyusul? Alangkah menyedihkan berada dalam kondisi kritis tanpa ditunggu keluarga. Betapa tragisnya hidup jika menjelang ajal menjemput tanpa didampingi kerabat. Apakah saya akan mengalaminya? Saya pasrah. Saya berserah diri. Lailahailallah. Tiada Tuhan selain Allah.

Hari beranjak siang. Jenazah masih berada di ruangan perawatan menemani saya. Ya, saya menjalani perawatan COVID-19 tidak ditemani oleh keluarga, tapi oleh jenazah. Saya tidak pernah membayangkan akan mengalami hal seperti ini. Saya menjadi ibo ati, kecik ati.

Sekitar pukul 16.00 WIB, enam orang “pasukan” berpakaian mirip astronot masuk ke ruang perawatan. Salah satu dari mereka membawa alat semprot desinfektan. Mereka mengurus jenazah selama setengah jam sebelum kemudian keluar meninggalkan saya. Tanpa sadar saya meneteskan air mata. “Lailahailallah,” lirih saya berucap.

Di mana saya mendapatkan virus?

Pertanyaan tersebut terus muncul di benak saya. Dari mana virus berasal? Sebagai anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Pilkada Jambi, saya menjalani rapid test pada 18 November dengan hasil non-reaktif. Namun beberapa hari kemudian saya mengalami demam yang lama-kelamaan meninggi.

Karena sudah tidak kuat, pada 25 November saya ke IGD RS Theresia dengan suhu badan mencapai 39,5 dercel sehingga akhirnya saya pun dirawat. Mengingat peraturan RS yang tidak melayani perawatan pasien suspek COVID-19, saya wajib menjalani rapid test dan rontgen paru-paru dengan biaya pribadi. Dengan hasil rapid test non-reaktif dan paru-paru bagus, RS Theresia pun merawat saya.

Dari hasil pemeriksaan darah, trombosit saya turun mencapai 90.000 dari angka normal 150.000 – 450.000. Dokter pun mendiagnosis saya terkena demam berdarah. Namun selama lima hari perawatan, demam tak kunjung turun. Dokter memutuskan kembali merontgen paru-paru saya. Dari situ dokter mencurigai saya terinfeksi COVID-19 dan dugaan tersebut terbukti oleh hasil tes swab.

Pada malam ketiga di RSUD H. Abdul Manap, kondisi saya membaik. Sesak nafas pun mulai berkurang sehingga saya mulai berani banyak duduk. Suhu badan sudah mulai normal. Namun, untuk ke kamar mandi yang jaraknya hanya dua meter dari ranjang, nafas saya masih terengah-tengah.

Esok harinya kondisi saya semakin membaik. Perawat mulai melepas infus dan kini saya bebas beraktivitas tanpa ventilator. Sekitar tanggal 10 Desember dokter menyatakan bahwa dalam empat hari saya bisa pulang. Namun, karena berkeinginan hanya akan pulang jika tes swab negatif, saya pun menjalankan tes pada 11 Desember dengan hasil yang akan keluar dalam beberapa hari. Untuk itulah ketika dokter memperkenankan saya pulang pada 14 Desember, saya tetap menolak karena hasil tes belum keluar. 

Namun, dua hari kemudian dokter menyarankan agar saya tetap pulang. “Hasil tes swab dapat menyusul. Lagi pula tidak baik terlalu lama di rumah sakit. Pak Usman sudah sehat dan saya kuatir Bapak terinfeksi lagi jika kelamaan di rumah sakit,” ujar dokter. 

Di RS banyak pasien yang rutin berolahraga di atap gedung berlantai empat, baik pagi maupun sore hari. Ada sekitar 15-an orang tengah beraktivitas di atap. Para pasien laki-laki berlari kecil atau berjalan keliling atap, sementara pasien perempuan melakukan senam. Sebagian duduk berjemur di bawah sinar matahari yang mulai memanas.

Mereka menyambut kedatangan saya dengan hangat. Kami senasib terserang COVID-19. Dari obrolan bersama, saya mengetahui ada pasien yang baru seminggu datang, ada juga yang sudah sebulan dikarantina.  Semua menantikan hal yang sama, yaitu hasil tes swab negatif agar diperbolehkan pulang. Kami juga sama-sama dirawat tanpa ditunggui keluarga.

Hari-hari penantian hasil tes swab kami isi dengan olahraga, ngobrol bareng, dan makan bersama. Sebagian pasien mendapat kiriman makan dalam jumlah banyak dari keluarga sehingga kami dapat nikmati bersama-sama. Makanan pun bervariasi, dari nasi bungkus Padang, nasi ayam bakar Wong Solo, empek-empek, aneka buah-buahan, hingga gorengan. Jika ada di antara kami yang diperbolehkan pulang, kami menyambutnya dengan gembira. Jika ada pasien yang meninggal dunia, kami ikut berduka. Namun, kami harus tetap semangat dan memelihara harapan yang besar untuk sembuh. Sungguh, kami tidak ingin kedatangan ajal saat menjadi pasien COVID-19 karena sangat sepi dan tragis.

Akhirnya saya pulang pada 16 Desember. Begitu saya tiba di rumah, Ketua dan Sekretaris RT bertamu dengan menerapkan protokol kesehatan. Mereka datang menyerahkan bantuan makanan. Rupanya warga bergotong royong mengumpulkan dana untuk dibelikan bahan makanan seperti dua papan telur ayam, satu kardus mie instan, roti gabin, roti wafer coklat, buah-buahan, dan lainnya. 

Hari-hari berikutnya sejumlah warga tetap menjenguk. Ada yang mengantar nasi kotak, sayur-sayuran, telur, sejumlah bahan makanan lain. Bahkan, ada juga yang mengantar uang. “Untuk beli token listrik,” ujarnya.

Saya sangat terharu atas kepedulian para tetangga saya. Rasa khawatir dan was-was bakal dikucilkan oleh warga ternyata tidak terbukti. Namun, kekhawatiran itu tidak terbukti. Sungguh saya sangat bersyukur.