Lanjut ke konten

Seri Penyintas COVID-19: Kisahku dan COVID-19

Penulis merasakan gejala yang mirip flu setelah pulang dari Bandung mengunjungi keluarganya. Ternyata penulis positif dan hampir seluruh keluarganya terinfeksi COVID-19. Penulis menceritakan perjalanan perawatannya selama di RS.

Kawal COVID-19's Avatar
Kawal COVID-19Tim administrator situs KawalCOVID19.id

Kamis, 12 November 2020 menjadi tanggal yang akan selalu saya ingat. Tepatnya sekitar pukul 10.30 pagi selagi bersiap akan presentasi kerja secara virtual, saya mendapat  diagnosa positif COVID-19 setelah menjalani dua kali tes PCR. SDM dan dokter klinik kantor menyampaikan hasil tersebut. Mulai hari itu juga saya menjalani rawat inap di salah satu rumah sakit (RS) swasta di Jakarta Selatan selama 15 hari ke depan. 

Saat pertama mendapat pesan WhatsApp dari SDM, saya berada di kos setelah diminta kantor untuk ‘istirahat’ setelah menunjukkan sejumlah gejala. Sebetulnya saya hanya pindah tempat kerja dari kantor ke kos. Hal pertama yang saya lakukan adalah menghubungi Mama dan Bapak yang sedang di rumah Emak (nenek). Hari itu adalah giliran orang tua saya menjaga Emak. Seraya menangis saya menelepon Mama dan memintanya segera pulang dan jangan dekat-dekat dengan Emak yang sudah lanjut usia karena sangat berisiko terpapar virus Corona. 

Saya sungguh shocked saat mendapatkan kabar positif COVID-19. Hasil tes PCR pertama saya negatif,  lalu hasil Rapid Test pun non-reaktif. Ternyata, gejala yang saya duga hanya flu, demam, batuk pilek, dan pusing adalah awal mula virus menginfeksi tubuh saya.

Kondisi hari itu menjadi benar-benar sibuk, mulai dari bersiap melanjutkan presentasi secara virtual, mendapat konfirmasi dokter mengenai hasil tes PCR, kelaparan karena belum sarapan, berkemas untuk ke RS (seorang diri!), sambil menghubungi keluarga. Saya nangis karena sungguh merasa bersalah atas kejadian ini, karena sebelumnya pergi ke Bandung mengunjungi keluarga dan meningkatkan resiko mereka juga terpapar COVID-19. Kepanikan, rasa bersalah, ketakutan dan bayangan akan meninggal dalam waktu bercampur aduk pada saat yang sama . Walau kita tidak tahu dari mana dan oleh siapa virus ini menginfeksi tubuh, perasaan khawatir terhadap keluarga tidak dapat saya hindarkan.

Saya pun segera menyiapkan koper dan memesan taksi. Dari luar saya terlihat seperti mau liburan. Yes, berlibur di rumah sakit. At least, untuk sementara waktu saya dibebastugaskan karena memang kondisi saya pun tidak memungkinkan untuk bekerja. 

Di RS, saya segera dibawa ke IGD ISPA setelah menunggu sebentar untuk mengisi formulir. Di IGD saya berbaring karena merasa lelah, fisik terutama mental. Saya kembali mengalami demam, batuk-batuk. Badan pun terasa lemas.  Sambil menunggu tindakan medis, saya mencoba menenangkan diri dan menonaktifkan mobile data phone untuk sementara, karena seketika banyak sekali masuk pesan WhatsApp. Ada yang sudah tahu saya positif lalu memberikan motivasi, tapi ada juga yang ingin memastikan langsung apakah saya benar positif. Semua itu membuat saya tak tenang hati dan mulai berpikir yang tidak-tidak. Jadi. lebih baik saya tenangkan diri dan mencoba menguatkan mental. Sesekali saya menangis memikirkan kondisi orang tua. Saya merasa bersalah. Walau entah dari mana dan dari siapa, kami sekeluarga, kecuali adik saya, terinfeksi COVID-19.

Setelah menunggu beberapa jam di ruang IGD ISPA, saya melakukan tes PCR ulang,  CT-Scan, EKG, cek darah dan kemudian mendapat cairan infus. Dalam tujuh jam seluruh hasil keluar dan memang benar, hasil tes PCR menunjukkan saya positif COVID-19. Terdapat bercak putih di bagian paru-paru pada hasil CT-Scan. Namun hasil EKG normal, demikian pula hasil tes darah.

Sebelum rawat inap, tes PCR saya jalani sebanyak tiga kali karena kasus saya dianggap tidak biasa. Biasanya jika hasil tes PCR pertama negatif, kemungkinan besar hasil tes kedua pun negatif juga. Namun, hasil tes kedua saya positif. Akhirnya, setelah menunggu keputusan dokter dan tim medis serta ketersediaan ruangan, saya mendapat ruangan rawat inap, kamar khusus isolasi COVID-19. Isolasi seorang diri dan tidak boleh mendapat kunjungan dari siapa pun, termasuk keluarga.

Ruangan isolasi cukup baik, sepi, dan terlihat steril. Semua perawat bahkan petugas housekeeping memakai baju hazmat dan Alat Pelindung Diri (APD) lengkap. Tidak banyak barang di sepanjang lobby, sehingga terasa lapang. Di ujung lobby terdapat air purifier yang dinyalakan tiap pagi untuk mensterilisasi udara. Ruang kamar isolasi pun demikian, hanya ada paramount bed, kursi, cabinet, kulkas dan televisi; serta kamar mandi yang cukup bersih dan dingin. Bersyukur ada jendela besar di samping tempat tidur, jadi sinar matahari pagi bisa masuk. Saya bisa berjemur dari dalam kamar sambil mengamati pemandangan luar, seperti gedung-gedung bertingkat. Tower Crane dan mal samar-samar terlihat dari balik jendela kamar isolasi yang saya tempati.

Kamar isolasi terasa begitu asing bagi saya di malam pertama. Sendirian, saya merasa kedinginan. Tangan pun ngilu karena jarum infus. Untung saya membawa Al-Qur’an sehingga dapat menemani hari-hari karantina. Walau sudah tidak merasa lemas, saya merasa tenggorokan kering dan haus yang mengakibatkan saya banyak minum sehingga jadi bolak-balik kamar mandi untuk BAK. Akibatnya, di hari pertama karantina, istirahat saya belum cukup optimal.

Hari-hari berlalu hingga akhirnya saya mulai dapat beradaptasi dengan suasana sepi, dingin dan begitu tenang. Hari-hari itu pun saya manfaatkan dengan membaca buku dan mengaji. Buku karya Emha Ainun Nadjib berhasil saya selesaikan, yang dilanjutkan dengan buku kiriman kakak saya di Bandung karya Haidar Bagir. Buku memang betul menjadi teman yang baik, selain melakukan video call dengan keluarga dan teman

Masa-masa karantina sedikit banyak memberikan perspektif baru bagi saya. Pada masa itu saya merasa lebih dekat dengan yang menciptakan saya, yang memberikan saya pengalaman terinfeksi COVID-19, yang saya rasakan dekat, sekaligus yang dapat menyembuhkan penyakit saya. Saya menjadi banyak berdialog dengan-Nya, Yang Maha Rahman, Maha Rahim.

Melihat ke langit luas dari balik jendela kamar, sungguh saya merasakan betapa Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Saya yakin semua ini akan berakhir dan saya akan sembuh. Saya pun merasa begitu dekat dengan-Nya. Rasanya seperti dipeluk dan mendapat bisikan-Nya bahwa semua ini adalah salah satu tanda kasih sayang-Nya. Namun saya merasa sedih dan khawatir, apakah jika sudah sembuh nanti masih bisa terus merasa dekat dengan-Nya.

Saya merasa banyak hal dimudahkan walau dalam pengalaman terinfeksi COVID-19 ini. RS begitu cepat tanggap, kamar rumah sakit tersedia, penanganan RS baik fasilitas dan urusan administrasi sangat baik. Semuanya itu begitu saya syukuri karena cukup kontradiktif dengan apa yang terjadi di luar sana, dengan banyak RS yang penuh sehingga harus menolak pasien.

Hal yang membuat waktu selama 15 hari berbeda adalah kesendirian di kamar isolasi. Mulai dari makan, tidur dan segalanya, semua saya lakukan sendiri. Interaksi saya sungguh terbatas, hanya dengan suster, dokter, dan para petugas lain yang menggunakan hazmat dan APD lengkap. Setiap harinya saya mendapat infus dan mengasup vitamin baik melalui infus maupun minum setiap pagi dan malam. 

Pada saat memulai karantina, saya mengasup 16 butir obat termasuk antibiotik, obat batuk racikan, vitamin D, vitamin E, suplemen, obat antivirus Avigan  Pada hari pertama, saya harus minum delapan butir Avigan sekaligus. Pada hari kedua dan seterusnya, dosis obat-obatan mulai berkurang, yang semula 16 butir setiap pagi dan malam menjadi 9 butir, hingga 5 butir pada hari-hari terakhir.

Selanjutnya, setiap Selasa dan Jumat berlangsung senam khusus bagi pasien yang terinfeksi COVID-19. Saya menantikan saat-saat ini karena merasa tidak sendiri. Bersyukur rasanya walaupun terinfeksi virus, saya masih bisa bernapas tanpa bantuan alat, masih bisa berjalan, menghirup udara pagi Jakarta sambil merasakan hangatnya sinar matahari pagi.

Sebagai bagian dari prosedur RS, saya melakukan tes PCR kembali di hari kelima karantina (17 November 2020). Hasil tes masih positif dengan nilai CT 38/40. Beberapa menyarankan saya untuk isolasi mandiri dengan hasil tersebut. Namun dokter saat itu tetap mengarahkan agar saya tetap karantina di RS.

Tak terasa hari demi hari berlalu. Infus bergantian dari tangan kanan ke kiri dan sebaliknya setiap dua-tiga hari untuk menghindari tangan bengkak atau pembuluh darah pecah. Selain infus, saya pun masih terus mengasup obat-obatan bahkan hingga saat ini, saat saya isolasi mandiri di rumah.

Pada hari pertama hingga hari kelima saya tidak dapat merasakan makanan sama sekali, karena gangguan anosmia yang belum juga sembuh. Makanan terasa hambar dan ini sangat tidak nyaman. Sungguh saya merasa Allah SWT Sang Maha Kuasa atas segala sesuatu dan membuat indera perasa dan penciuman menjadi bagian penting pada manusia. Alhamdulillah di hari kelima, anosmia saya sedikit demi sedikit mulai menghilang. Saya mulai bisa merasakan kembali rasa semangka yang manis. Itu pertanda baik yang betul-betul saya syukuri. Sambil sering-sering menghirup kayu putih dan aromatherapy yang memang kebetulan saya bawa, akhirnya anosmia saya hilang. Lain halnya dengan indera penciuman, hingga saat ini masih belum seoptimal sebelum terinfeksi COVID-19. 

Pada hari ke-14, saya melakukan tes PCR ke-4. Syukur alhamdulillah hasilnya negatif walau dokter tetap meminta agar saya melakukan tes kembali keesokan harinya untuk memastikan. Syukur alhamdulillah pada Kamis, 27 November 2020, hasil tes PCR saya kembali negatif. Dokter pun menyatakan saya sembuh dari COVID-19 dan menyarankan agar segera pulang. Awalnya saya berencana untuk pulang langsung ke Bandung pada hari Jumat. Tetapi, dokter dan tim medis menyarankan agar saya segera pulang pada hari yang sama dengan hasil tes PCR mengingat sirkulasi udara RS yang tetap berisiko. Akhirnya saya mengabari keluarga dan adik saya untuk menjemput saya dari Bandung.

Saya merasa beryukur dengan perawatan isolasi selama saya terinfeksi COVID-19. Suster-suster dan broster cukup kooperatif dan bersedia saya repotkan tiap hari. Saya berterima kasih untuk itu semua, walau mungkin itu adalah bentuk keprofesionalan mereka, tapi saya meyakini mereka bekerja dari hati. Semoga Tuhan Allah SWT membalas semua kebaikan mereka, para suster, broster, petugas housekeeping dan juga dokter yang setiap hari memantau dan memeriksa kondisi saya.

Syukur Alhamdulillah, pada hari itu juga saya tiba di rumah di Bandung, tepat pukul 00.00. Alhamdulillah kondisi Mama, Bapak, dan kakak yang positif bersamaan dengan saat saya isolasi di RS pun kini sudah stabil. Kami pun dapat berkumpul kembali. Walau berkumpul di rumah yang tidak besar, namun kembali bersama keluarga adalah pilihan terbaik.

Salam,

Rina Asri Aisyah.

Bandung, 02 Desember 2020.

Sumber: https://aisyahrina.wordpress.com/2020/12/02/my-covid-story/