Lanjut ke konten

TB dan COVID-19

Penulis: Nabila Hana Wardhani Tuberkulosis dan COVID-19 memiliki gejala yang serupa tapi tak sama seperti adanya batuk, demam dan sesak napas. Penyebab dan pengobatan dari kedua penyakit tersebut juga berbeda. Apabila keduanya diidap oleh seseorang, perkiraan perjalanan COVID-19 seseorang akan menjadi lebih buruk. Selain itu pandemi membawa problematika baru bagi TB, seperti melonjaknya kasus resistensi […]

Kawal COVID-19's Avatar
Kawal COVID-19Tim administrator situs KawalCOVID19.id

Penulis: Nabila Hana Wardhani

Tuberkulosis dan COVID-19 memiliki gejala yang serupa tapi tak sama seperti adanya batuk, demam dan sesak napas. Penyebab dan pengobatan dari kedua penyakit tersebut juga berbeda. Apabila keduanya diidap oleh seseorang, perkiraan perjalanan COVID-19 seseorang akan menjadi lebih buruk. Selain itu pandemi membawa problematika baru bagi TB, seperti melonjaknya kasus resistensi obat dan banyaknya imunisasi yang terlewat. Maka dari itu penyintas TB, baik yang terinfeksi COVID-19 maupun tidak tetap harus minum obat yang diresepkan di masa pandemi dan memberi tahu riwayat lengkap perjalanan penyakit dan pengobatan TB kepada dokter terkait. Selain itu, protokol kesehatan harus tetap dijalankan secara ketat dan mengikuti anjuran terbaru penggunaan masker dari Center for Disease Control and Prevention (CDC) maupun pemerintah guna mencegah penyebaran COVID-19.

*******

Batuk, sesak napas dan demam. Penyakit apa yang muncul dalam pikiran ketika mendengar ketiga gejala tersebut? Dalam situasi pandemi ini, dugaan yang pasti muncul adalah COVID-19. Namun, dugaan akan gejala tuberkulosis (TB) juga tidak salah.

Walaupun kedua penyakit tersebut adalah penyakit menular yang menyerang paru dan memiliki potensi tinggi dalam penyebarannya, namun sebenarnya banyak perbedaan. TB disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang telah ada sejak 1882, sedangkan COVID-19 disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 yang baru muncul pada akhir tahun 2019 di Wuhan, Tiongkok.

Karena perbedaan penyebab, uji yang dilakukan juga berbeda. Uji swab PCR, sebuah tes yang ditetapkan sebagai standar tertinggi, dan rapid antigen swab yang mengambil sampel di hidung dan mulut (nasopharynx) merupakan dua jenis tes untuk mengetahui paparan COVID-19.  Untuk memastikan TB, biasanya menggunakan sampel dahak yang akan diperiksa dengan metode  kultur, tes tuberkulin, IGRA dan rontgen dada (foto thorax). 

Karena penyebabnya berbeda, maka pengobatan pun sudah pasti berbeda. Pengobatan TB dilakukan dengan obat khusus yang harus diminum secara rutin dalam waktu enam bulan, sementara COVID-19 belum ada obatnya hingga saat ini.

Walaupun secara garis besar gejala yang dialami sama, terdapat beberapa perbedaan yang patut dicermati. COVID-19 memiliki gejala yang lebih beragam dari TB, dan bahkan dalam beberapa kasus tidak menimbulkan gejala sama sekali. Kembali ke gejala utama yang disebutkan sebelumnya, batuk yang dialami penyintas TB bersifat jangka lama, yaitu lebih dari dua minggu dan dapat ditemukan bercak darah di dahak. Sedangkan batuk yang dialami penyintas COVID-19 lebih bersifat batuk kering. Penyintas TB umumnya mengalami penurunan berat badan, berkeringat di malam hari tanpa sebab dan nafsu makan yang menurun. Penyintas COVID-19 mengalami sakit kepala, nyeri tenggorokan, kram otot, mual, sakit perut dan diare. Selain itu, ada laporan kasus dari Arab Saudi yang menemukan COVID-19 memicu tuberkulosis laten pada pasien tersebut menjadi tuberkulosis yang aktif, walau masih perlu penelitian lebih jauh mengenai hal ini.

Selama pandemi, fasilitas kesehatan dan penanganan cenderung berfokus pada COVID-19, sehingga layanan penanganan untuk masalah kesehatan lain, termasuk penanganan TB, terganggu. Hal ini tercatat dalam survei TB yang dilakukan oleh Kemenkes bahwa beberapa program seperti pengawasan minum obat, pengambilan obat dan monitoring penyintas terganggu pada era pandemi. Padahal Indonesia merupakan negara endemis tuberkulosis dan menempati urutan ketiga dalam jumlah penyintas tuberkulosis terbanyak di dunia. TB merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati. Oleh karena itu, hendaknya TB tetap mendapat perhatian dan tidak dilepas begitu saja selama era pandemi.

Meski jumlah kasus TB menurun tiap tahunnya, masih terdapat permasalahan lain yang masih belum terselesaikan. Salah satunya adalah resistensi obat. Jumlah kondisi TB-RO (Tuberkulosis Resisten Obat) yang tercatat di Kementrian Kesehatan Indonesia selama era pandemi mengalami kenaikan. Pernyataan ini didukung oleh data dari Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB), dimana jumlah kasus TB-RO di triwulan pertama dan kedua tahun 2019 dibandingkan dengan triwulan pertama dan kedua di tahun 2020 menunjukkan kenaikan dari 5.398 kasus ke 5.632 kasus.

Selain adanya masalah resistensi obat, masalah lain yang dapat memperburuk kondisi TB di Indonesia di masa pandemi adalah imunisasi yang terlewat. Menurut Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan, Vensya Sitohang, ditemukan bahwa pelaksanaan imunisasi dasar lengkap pada balita menurun hingga 19,7 persen sebagai dampak dari pandemi. Menurut survey yang dilakukan UNICEF, sebanyak 84 persen fasilitas kesehatan juga melaporkan pelayanan imunisasinya terganggu. Hal ini sangat disayangkan karena efektivitas vaksin BCG maksimal pada saat 1-2 bulan pertama setelah lahir, sehingga hendaknya seorang bayi menerima vaksin BCG saat usia 1-2 bulan pertama. Oleh karena itu, pastikan imunisasi rutin pada bayi dan anak tidak tertunda!

Apa yang harus dilakukan penyintas TB pada masa pandemi?

Pertama, tetap ambil obat dan minum secara teratur untuk menyembuhkan TB serta mencegah resistensi obat. Jaga imunitas dengan mengkonsumsi makanan bergizi seimbang, rajin berolahraga dan istirahat yang cukup. Apabila pasien masih takut untuk melakukan kunjungan rutin ke dokter, telemedicine (berbicara dengan dokter melalui telepon atau video call) bisa menjadi pilihan. Jangan lupa untuk selalu mengikuti protokol kesehatan seperti memakai masker sesuai anjuran pemerintah dan CDC dengan cara memakai masker minimal 3 lapis yang pas menutupi hidung dan mulut, mengganti masker tiap 4 jam sekali, sebisa mungkin melapis masker kain dengan masker medis (tidak melapis dengan dua masker medis) atau memakai masker N95, tidak memakai tali (strap) tambahan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan enam langkah untuk meminimalisir penularan COVID-19.

Apa yang harus dilakukan apabila penyintas TB terinfeksi COVID-19?

Saat penyintas TB terinfeksi COVID-19, pengobatan TB harus tetap dilanjutkan. Setelah dinyatakan positif COVID-19 dan berkonsultasi dengan dokter, pastikan bahwa dokter mengetahui bahwa pasien sedang dalam pengobatan TB pada bulan keberapa dan jenis obat yang dikonsumsi; keterangan ini penting agar dokter dapat memberikan tambahan atau merubah jenis obat bila diperlukan. 

Bagaimana cara mencegah TB?

Vaksinasi BCG dalam 1-2 bulan pertama setelah kelahiran untuk efektivitas maksimal. Pastikan ventilasi dan penerangan yang baik apabila berada di satu rumah dengan penyintas TB. Selain itu, jangan lupa untuk selalu menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS).

Tuberkulosis dan COVID-19 memiliki gejala yang serupa tapi tak sama seperti adanya batuk, demam dan sesak napas. Meski demikian, penyebab dan pengobatan dari kedua penyakit tersebut berbeda. Apabila keduanya diidap oleh seseorang, perkiraan perjalanan COVID-19 seseorang akan menjadi lebih buruk. Selain itu pandemi membawa problematika baru bagi TB seperti melonjaknya kasus resistensi obat dan banyaknya imunisasi yang terlewat. Maka dari itu penyintas TB masa pandemi harus tetap minum obat yang diresepkan secara rutin, baik yang terinfeksi COVID-19 maupun tidak, dan memberi tahu riwayat lengkap perjalanan penyakit dan pengobatan TB kepada dokter yang terkait. Selain itu, protokol kesehatan harus tetap dijalankan secara ketat dan mengikuti anjuran terbaru penggunaan masker dari pemerintah maupun WHO dan CDC, guna mencegah penyebaran COVID-19.

Referensi: 

Buletin Eliminasi Tuberkulosis Volume 1 Tahun 2020 https://tbindonesia.or.id/wp-content/uploads/2020/08/Buletin-Eliminasi-TBC_Volum-1_2020_New.pdf  https://www.aa.com.tr/id/nasional/cakupan-imunisasi-dasar-menurun-akibat-pandemi-covid-19/1862944 

https://www.unicef.org/indonesia/id/laporan/imunisasi-rutin-anak-selama-pandemi-covid-19-di-indonesia

https://www.cdc.gov/mmwr/volumes/70/wr/mm7007e1.htm

https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5406940/penting-satgas-covid-19-tak-anjurkan-pemakaian-tali-masker-ini-alasannya

https://redetb.org.br/covid-19-could-activate-latent-tuberculosis/

https://internasional.kontan.co.id/news/peringatan-who-kasus-kematian-akibat-tbc-bisa-naik-drastis-di-tahun-mendatang

https://www.uitb.cat/wp-content/uploads/2020/11/05-ernesto-jaramillo.pdf

https://www.who.int/teams/global-tuberculosis-programme/covid-19#:~:text=While%20experience%20on%20COVID%2D,TB%20treatment%20as%20prescribed.