Lanjut ke konten

Gangguan Stres Pascatrauma pada Penyintas COVID-19

Dinyatakan sembuh dari COVID-19 tidak serta merta membuat para penyintas kembali hidup normal. Ada risiko penurunan kondisi fisik, dan juga kesehatan mental. Artikel ini membahas gangguan stres pasca trauma pada penyintas COVID-19

Kawal COVID-19's Avatar
Kawal COVID-19Tim administrator situs KawalCOVID19.id

Disusun oleh: dr. Zahra Ibadina Silmi, M.M.

Setelah dinyatakan sembuh dari penyakit COVID-19, ternyata para penyintas tidak hanya berhadapan dengan risiko penurunan kondisi fisik, tetapi juga kesehatan mental. Mengutip penelitian “Post Traumatic Stress Disorder in Patients After Severe COVID-19 Infection” yang diterbitkan jurnal ilmiah JAMA Psychiatry pada tahun 2021, sebesar 30,2% dari total 381 responden penyintas COVID-19 mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD atau Gangguan Stres Pascatrauma). Menurut data dari PDSKJI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia), sebanyak 80% dari 182 hasil swaperiksa mengalami gejala stres paska trauma psikologis karena mengalami atau menyaksikan peristiwa tidak menyenangkan terkait COVID-19. Sebesar 46% bergejala berat, 33% sedang, 2% ringan, dan sisanya tidak bergejala.

Hal-hal yang meningkatkan risiko terkena Gangguan Stres Pascatrauma adalah jenis kelamin (perempuan lebih berisiko), riwayat gangguan jiwa sebelumnya, dan riwayat penyalahgunaan NAPZA (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif). Secara khusus, dalam konteks penyakit COVID-19, seorang penyintas dengan riwayat gejala yang berat dan delirium atau agitasi ternyata memiliki risiko lebih besar untuk mengalami Gangguan Stres Pascatrauma. Delirium adalah gangguan mental serius yang menyebabkan penderita mengalami kebingungan parah dan berkurangnya kesadaran terhadap lingkungan sekitar. Bahkan, sebuah penelitian dari  British Journal of Psychiatry menyatakan bahwa dari 13.049 penyintas COVID-19 di Inggris, terdapat sebanyak 41% mengalami Gangguan Stres Pascatrauma; dan 35% di antaranya adalah penyintas dengan riwayat gejala berat hingga membutuhkan ventilator [2]. Selain itu, stigma negatif dari masyarakat serta kehilangan orang terdekat karena COVID-19 juga menjadi faktor risiko terjadinya Gangguan Stres Pascatrauma.

Menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III), Gangguan Stres Pascatrauma timbul sebagai respon yang berkepanjangan dan atau tertunda terhadap kejadian atau situasi yang menimbulkan stres, misalnya pada pasca kecelakaan atau sakit hebat, korban penyiksaan atau pemerkosaan, bencana alam, dan lain-lain. Gejala Gangguan Stres PascaTrauma dapat muncul dalam rentang waktu beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah trauma terjadi.

Selain bukti trauma yang kuat seperti di atas, harus muncul bayang-bayang atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatis tersebut secara berulang. Selain itu, juga muncul penghindaran atas hal yang menyebabkan trauma. Gangguan Stres Pascarauma dapat pula disertai dengan gangguan emosi, fisik, dan perilaku, tetapi hal ini tidak menjadi kekhasan atau keharusan. Perubahan emosi yang dimaksud contohnya adalah perasaan bersalah, bersedih, kehilangan gairah, dan tidak bersemangat dalam menjalani kehidupan. Sedangkan gangguan fisik mencakup tubuh yang mudah lelah, kerap berkeringat, atau jantung kerap berdebar-debar. Gangguan perilaku yang umumnya muncul adalah gangguan tidur, gangguan makan, dan sulit berkonsentrasi. [3]

Berikut ini adalah kiat-kiat yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya Gangguan Stres Pascatrauma selama Pandemi COVID-19 :

  1. Akui dan terima perasaan tidak nyaman yang sedang Anda rasakan
  2. Pahamilah jika terkadang memang terjadi hal yang menyakitkan dalam hidup ini
  3. Tidak menghindari hal yang membuat trauma, coba lah untuk berdamai dan melakukan kompromi yang baik
  4. Ingatlah jika kita tidak bisa mengontrol apa yang telah terjadi di masa lalu
  5. Coba untuk fokus pada masa depan dan hal lain yang masih dapat diperbaiki, misalnya dengan semakin disiplin melaksanakan protokol kesehatan
  6. Terbuka dan berbicaralah dengan orang yang dapat Anda percaya
  7. Cari berita dari sumber yang dapat dipercaya
  8. Ciptakan lingkungan yang suportif dan bebas stigma

Namun, jika sudah mulai merasakan gejala yang disebutkan di atas, bahkan apabila gejala justru tidak membaik hingga dalam waktu minimal empat minggu, mengganggu aktivitas sehari-hari dan kualitas hidup, atau bahkan menimbulkan keinginan untuk menyakiti diri sendiri/orang lain atau bunuh diri, segeralah mencari pertolongan profesional. Sebab jika diabaikan, Gangguan Stres Pasca Trauma dapat berkepanjangan dan menjadi kronis hingga menyebabkan gangguan kepribadian, gangguan psikotik, depresi, bahkan berisiko self-harm/ bunuh diri. Selain Gangguan Stres Pasca Trauma, para penyintas COVID-19 juga berisiko mengalami depresi, kecemasan, dan brain fog atau pikiran berkabut. Oleh karena itu, berkonsultasilah segera dengan dokter ahli mengingat setiap penyintas COVID-19 berisiko juga mengalami Long COVID yang dapat menyerang baik secara fisik maupun mental. 

Berdasarkan penjelasan di atas, maka penting sekali untuk menjaga kesehatan mental selama pandemi. Khususnya pada penyintas COVID-19, pemahaman dan kepekaan mengenai kondisi kejiwaan diri sangatlah diperlukan. Selain itu, hendaknya para tenaga kesehatan juga semakin proaktif dalam mencegah dan menyikapi masalah kejiwaan yang dapat muncul pada para pasien dan penyintas COVID-19. 

Diperlukan evaluasi berkala oleh petugas kesehatan, khususnya kepada para pasien dan penyintas COVID-19 yang berisiko tinggi mengalami gangguan mental. Contohnya, mereka yang memiliki riwayat gejala berat, agitasi (kegelisahan), delirium (kebingungan yang serius dan penurunan kesadaran), dan pernah menggunakan ventilator, atau mereka yang mengaku mendapat stigma negatif dari sekitar, serta mereka yang kehilangan orang terdekat karena COVID-19. 

Selain itu, masyarakat sekitar juga diharapkan semakin meningkatkan kerja sama dalam menciptakan lingkungan yang memberikan dukungan moral  dan bebas stigma bagi para penderita dan penyintas COVID-19 baik secara moral, spiritual, maupun material untuk mendukung pemulihan baik secara fisik maupun mental.

 Daftar Pustaka

[1]  Janiri D, Carfì A, Kotzalidis GD, Bernabei R, Landi F, Sani G. Posttraumatic Stress Disorder in Patients After Severe COVID-19 Infection. JAMA Psychiatry 2021. https://doi.org/10.1001/jamapsychiatry.2021.0109.

[2]   Chamberlain SR, Grant JE, Trender W, Hellyer P, Hampshire A. Post-traumatic stress disorder symptoms in COVID-19 survivors: online population survey. BJPsych Open 2021;7:e47. https://doi.org/10.1192/bjo.2021.3.

[3]   Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ-III). Jakarta: Departemen Kesehatan; 1993.

[4] Trauma Psikologis Tekait COVID-19. http://pdskji.org/home . Diakses pada 19 April 2021.