Cerita dari Korea Selatan: Pengalaman Ngantor di Tengah Wabah
Pengaruh coronavirus terhadap kondisi kerja di Seoul, Korea.
Penulis: Riswanto Tan
Seoul, 5 Maret, perusahaan farmasi lokal dengan 650 karyawan.
Terhitung dari 20 Februari, jumlah orang yang positif terinfeksi COVID-19 di Korea Selatan melonjak drastis dari 30 menjadi 87, 186, 412, 584, hingga, saat tulisan ini dibuat, 5,546 pasien.
Sejak awal Februari, tempat kerja saya sudah menghentikan medical representative agar tidak mengunjungi rumah sakit dan menganjurkan mereka untuk tinggal di rumah saja. Karyawan dengan riwayat perjalanan terakhir ke Tiongkok dan orang-orang dengan gejala mirip COVID-19 (pada dasarnya gejala flu) juga diminta untuk tinggal di rumah. Voluntary work from home juga berlaku untuk para ibu dengan bayi, mereka yang tinggal dengan lansia di rumah, dan sebagainya. Seluruh perjalanan bisnis, rapat tatap muka, hingga finger print dibatalkan. Mobilisasi karyawan dibatasi (tidak boleh ke lantai lain, dilarang ke kafe saat istirahat, melaporkan pekerjaan via telepon, dll.), dan jam makan siang yang tadinya hanya ada 1 shift mulai dibagi-bagi per departemen. Di kantin kantor, meja yang muat 8 orang kini hanya boleh diduduki oleh 4 orang dengan posisi zig-zag. Hand sanitizer didistribusikan dan masker disediakan secara gratis di berbagai lokasi. Pemeriksaan suhu tubuh wajib dilakukan tiap pagi. Saya sempat izin sakit karena pilek hari Sabtu-Minggu dan masih ada sisa sakitnya pada hari Senin, tapi kalau tetap masuk kantor, orang-orang mungkin jadi paranoid. Untungnya, selama wabah COVID-19, ternyata izin sakit tidak dipotong cuti
Pada tanggal 22 Februari ketika kasus positif menjadi 412 orang, jam kerja dipotong 3 jam lebih awal untuk menghindari rush hour. Lumayan, kami jadi bisa tidur 1 jam lebih lama dan pulang 2 jam lebih cepat Seminggu dua kali, karyawan wajib menjawab lembaran yang intinya mendata semua tempat publik yang didatangi 3 hari terakhir. Jika tempat publiknya agak berisiko seperti RS, keperluannya ditanya juga. Good bye, privacy, buat yang ke dokter kulit karena jerawat (curhat).
?
Seluruh karyawan akhirnya dirumahkan dengan beberapa pengecualian sejak 28 Maret saat kasus positif mencapai 2,294 orang. Ini termasuk agak lelet, sih, untuk tingkat corporate di Seoul, tapi tidak apa apa. Untuk tingkat direktur ke atas dan satu orang per departemen, mereka tetap harus ngantor sehari 5 jam untuk memastikan aktivitas kantor berjalan mendekati normal, termasuk saya. Tapi tidak apa-apa, soalnya kalo work from home kerjanya tetap 8 jam sehari
Masker yang tadinya tersedia gratis di banyak tempat, termasuk di bus, gym, dan tempat umum lainnya, mulai menghilang dan harga masker mulai naik. Untungnya, kantor menyediakan N95 yang dibagikan ke setiap karyawan sebanyak 1 biji. Terakhir, kami diberi 5 biji, mungkin dengan pertimbangan anggota keluarga di rumah. Belakangan, hand sanitizer yang bisa dimasukkan ke kantong juga dibagikan karena yang masuk kantor hanya sekitar 10%. Kantin tutup dan diganti dengan lunch box. Ini juga lumayan soalnya lunch box-nya dari hotel bintang 5 hahaha… Tumben bener dah kantor. Pemeriksaan suhu tubuh yang tadinya menggunakan infrared thermometer diganti jadi thermal imaging seperti yang dipakai di bandara.
Di Seoul, saat tulisan ini dibuat, sudah 99 orang positif (pasien Seoul cuma 1.9% dari total positif di Korea), dan tidak sulit untuk mengikuti tes COVID-19 karena gratis, bisa dilakukan di mana saja, termasuk klinik-klinik seperti puskesmas, dan juga drive thru buat yang takut ke tempat ramai. Baru saja tadi malam saya diajak tes korona drive thru oleh teman yang super parno padahal dianya sehat-sehat saja, LOL. Teman saya ini pernah kena MERS dulu dan katanya sempat nyaris meninggal. Sekarang dia sudah berhenti menjadi perawat dan ke mana saja menggunakan masker 2 lapis plus tisu basah sebulan terakhir (yang ini tidak perlu dicontoh ).
Intinya, saya berharap semoga outbreak-nya cepat berlalu biar bisnis lancar lagi tapi kalau bisa jam kerja tetap 5 jam sehari.