Lanjut ke konten

Cerita dari Tiongkok: Catatan dari Wuhan

Pengalaman tinggal di Wuhan, Cina di tengah pandemik COVID-19

Kawal COVID-19's Avatar
Kawal COVID-19Tim administrator situs KawalCOVID19.id

Penulis: Hilyatu Millati Rusdiyah (Hilya Milla), pelajar di Wuhan yang dievakuasi

Akhir Desember, saya sempat bermalam di stasiun Hankou. Salah satu stasiun kereta tersibuk di kota Wuhan yang menghubungkan kota Wuhan dengan kota-kota di China bagian utara dan barat. Stasiun Hankou lokasinya tidak jauh dengan Pasar Ikan Segar Huanan yang menjadi episentrum wabah Corona. Mereka yang beraktivitas di kedua tempat itulah yang banyak terjangkit virus korona, atau yang kemudian dikenal dengan SARS-CoV2.

Bukan sekali ini saja saya bermalam di Stasiun Hankou, setidaknya sebulan sekali saya bermalam di sana, untuk mengejar kereta pemberangkatan Subuh menuju kota Chongqing,  tempat saya  menempuh pendidikan. Sementara saya tinggal di Wuhan bersama suami dan anak, karena suami sedang menempuh studi di Wuhan.

Saat itu, kabar tentang virus korona belum ramai di media masa atau media sosial. Karena masih dikira jenis flu biasa yang tidak mewabah sedemikian cepatnya. Syukurnya, kembali dari Chongqing dua hari kemudian, saya memilih transportasi udara, juga. Karena tiket kereta sudah tidak tersedia menjelang liburan akhir tahun. Aktivitas di Wuhan saat itu masih berjalan sebagaimana biasanya. Perayaan malam tahun baru juga berjalan normal tanpa dibayang-bayangi wabah Corona walaupun beritanya mulai beredar di media lokal. Saya sekeluarga sempat pergi ke salah satu mall di Guanggu Shopping Street sepulang dari Chongqing untuk membeli bahan kebutuhan sehari-hari.

Awal tahun baru 2020, kami sekeluarga melakukan perjalanan ke kota Yiwu di provinsi Zhejiang menggunakan kereta. Kereta tersebut berangkat dari stasiun Wuchang. Stasiun tersibuk kedua di Wuhan yang menghubungkan Wuhan dengan kota-kota di Selatan China. Setiap hari semua stasiun di kota Wuhan tidak pernah sepi. Sekalipun besar dan memiliki ruang tunggu yang luas dengan ratusan tempat duduk, namun tetap saja terasa penuh karena mobilitas warga China yang tinggi apalagi menjelang tahun baru Imlek.

Kami menghabiskan waktu tiga hari di kota Yiwu untuk berkeliling di Yiwu International Small Commodities City yang memiliki 6 distrik pusat perdagangan dengan ribuan kios di dalamnya.

Di kota Yiwu inilah, kabar tentang virus korona jenis baru mulai kami ketahui. Banyak kolega dan sahabat yang silih berganti berkirim pesan menanyakan kondisi Wuhan pasca ditemukannya virus flu yang mulai terpublikasi di media pada 30 Desember 2020.

Namun karena jumlah korban penderitanya yang masih belasan, kami tetap berusaha tenang.  karena lokasi tempat tinggal kami cukup jauh dari Pasar Huanan yang menjadi episentrum awal virus Corona, atau yang kemudian dikenal dengan SARS-CoV2.

Selasa 5 Januari 2020 kami pulang dari Yiwu dengan kereta. Berbeda dengan kereta ketika berangkat yang sepi penumpang, kereta kembali menuju Wuhan justru sangat padat hingga tak menyisakan ruang bagasi untuk koper kecil kami. Memang lumrah di China, warga bepergian dengan kereta membawa banyak barang, dan kadang barangnya justru lebih banyak dari orangnya.

Sampai di Wuhan, kami memantau terus berita tentang wabah pneumonia yang tidak dikenal. Demikianlah nama virus itu ketika awal ditemukan. Belum ada korban jiwa di awal Januari. Warga masih beraktivitas seperti biasa. Karena saat itu pun jenis virusnya belum diketahui dan belum terkonfirmasi bagaimana cara virus bertransmisi.

Kamis 9 Januari 2020, saya mengantar suami dan anak menuju Tianhe International Airport untuk pulang ke Indonesia karena libur Winter telah tiba. Rencananya saya akan pulang belakangan, karena msh ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Di MRT menuju bandara, terlihat beberapa orang menggunakan masker, namun tidak dominan. Lagi-lagi MRT ini melewati stasiun Hankou karena memang rutenya demikian.

Di bandara, petugas masih berpakaian normal tanpa masker apalagi APD yang belakangan sering terlihat di media. Semua masih terlihat normal apa adanya. Tidak ada yang mengira Wuhan akan menderita begitu hebatnya.

Pada 9 Januari 2020 di Wuhan, seorang pasien yang terinfeksi penyakit misterius dengan gejala mirip pneumonia meninggal dunia. Pada saat itu, karakteristik penyakit dan virus yang menyebabkannya masih belum diketahui asal muasalnya. Orang-orang menyebutnya “flu Wuhan.”

Ada dugaan bahwa virus ini berasal dari kelelawar dan bertransmisi ke manusia, namun belum ditemukan bukti transmisi virus antar manusia karena penderitanya saat itu adalah mereka yang pernah berinteraksi di pasar ikan segar Huanan dan sekitarnya.

Tiga minggu kemudian, tepatnya pada 20 Januari 2020, otoritas pemerintah Tiongkok mengonfirmasi bahwa virus yang diberi nama sementara 2019-nCov dapat bertransmisi antarmanusia. Saat itu, jumlah penderitanya sudah mencapai 440 orang dan 9 orang meninggal dunia.

Tak lama kemudian, pada 23 Januari 2020, Pemerintah Tiongkok memutuskan untuk menutup (lockdown) kota Wuhan karena jumlah orang yang terinfeksi flu Wuhan atau 2019-nCov sudah meningkat drastis, dari ratusan menjadi ribuan.

Pemerintah Tiongkok segera menutup semua akses transportasi massal dari, ke, dan di dalam kota Wuhan, baik transportasi darat, laut, maupun udara. Walau begitu, bukan berarti warga Wuhan dilarang keluar rumah. Mereka hanya diimbau untuk mengurangi aktivitas di luar ruangan.

Menutup kota Wuhan adalah keputusan cepat dan tepat oleh pemerintah Tiongkok untuk menahan penyebaran virus Corona, mengingat hal ini terjadi menjelang tahun baru Imlek yang jatuh dua hari kemudian yang biasanya diiringi mudik besar-besaran.

Sejak saat itu, imbauan pemerintah untuk menjaga kebersihan diri, menjauhi pusat keramaian dan memakai masker terdengar di mana-mana, melalui pengeras suara di pemukiman warga, juga melalui pesan singkat di ponsel. Polisi komunitas silih berganti mengetuk pintu setiap rumah memastikan kesehatan penghuninya dan berpesan agar orang-orang yang merasakan gejala mirip flu agar segera ke rumah sakit untuk memeriksakan dirinya.

Setiap hari, penderita flu Wuhan bertambah dalam angka ribuan, dari 440 penderita pada 22 Januari menjadi lebih dari 10.000 penderita di akhir Januari. Semua orang paranoid tak kepalang. Mendengar orang batuk dan bersin memunculkan ketakutan berlebihan.

Pada 27 Januari 2020, warga Wuhan membuat gerakan solidaritas membuka jendela dan meneriakkan kata “Wuhan Jiayou” untuk saling menyemangati. Suara mereka terdengar bersahutan seantero kota karena siapa pun yang berada di Wuhan merasa senasib dan sepenanggungan dan tidak ada yang saling menyalahkan.

Pada 30 Januari 2020, WHO menetapkan 2019-nCov sebagai Darurat Kesehatan Masyarakat Internasional atau PHEIC karena telah menyebar ke sejumlah negara. Dengan status ini, WHO diperbolehkan membuat rekomendasi untuk mengendalikan penyebaran virus secara global.

Belakangan WHO mengeluarkan nama resmi untuk penyakit ini, yaitu COVID-19, dan SARS-CoV-2 untuk nama virusnya. Penamaan ini bertujuan untuk mencegah munculnya stigma terhadap kelompok atau negara tertentu.

Namun, sekalipun warga Wuhan telah berkorban dan berhasil menekan laju pertumbuhan penyakit ini di kotanya, virus korona ini tetap saja mendunia dan menyebar di banyak negara. Karena virus tak mengenal agama, ras, dan suku bangsa, siapapun bisa terinfeksi tak peduli dari manapun asalnya.

Sumber: https://www.facebook.com/milla.elfirdausy/posts/3331090496905752?__tn__=K-R
https://www.facebook.com/milla.elfirdausy/posts/3346426175372184