Lanjut ke konten

Cerita dari Swedia: Don’t try this at home! (Jangan Terapkan di Indonesia!)

Swedia dan Indonesia memiliki kondisi sosial dan budaya yang berbeda. Maka, kebijakan pemerintah Swedia tidak semerta-merta dapat diterapkan di Indonesia karena perbedaan konteks memerlukan penanganan yang berbeda pula.

Kawal COVID-19's Avatar
Kawal COVID-19Tim administrator situs KawalCOVID19.id

Penulis: Abyan Irzaldy, MD (Master of Public Health Sciences Candidate, Health Promotion and Prevention), Karolinska Institutet, Swedia dan Medical Doctor, Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya).

Pandemi COVID-19 yang berawal dari China telah menyebar ke berbagai negara. Setiap negara memiliki pendekatan yang berbeda dalam upaya flatten the curve. Mayoritas negara memberikan pendekatan yang agresif, seperti tes masal dan pembatasan pergerakan manusia, baik di tingkat domestik maupun internasional.

Di tengah banyaknya negara yang melakukan intervensi agresif, sebuah negara jauh di sebelah Utara – Swedia – melakukan intervensi yang cenderung lebih santai. Tidak ada sekolah yang ditutup, rumah makan tetap buka, bahkan masyarakat tidak dilarang keluar untuk berolahraga. Saat artikel ini ditulis (05/04/2020), kebijakan yang diberlakukan Swedia adalah larangan berkumpul dengan lebih dari 50 orang, upaya menjaga jarak di rumah makan dan supermarket, himbauan untuk tidak melakukan perjalanan yang tidak penting, himbauan untuk bekerja dari rumah, digitalisasi kegiatan belajar mengajar di universitas, himbauan isolasi diri di rumah bagi para lansia, memberlakukan kebijakan cuti sakit dibayar (paid sick leave), penghapusan aturan surat sakit untuk mengambil cuti, skema bantuan ekonomi, serta penguatan kapasitas sistem kesehatan.

Kebijakan tersebut membuat Swedia nyaris berdiri sendiri di Eropa, karena hampir semua negara Eropa memberikan intervensi agresif bahkan membatasi. Norwegia dan Denmark, dua negara tetangga Swedia yang biasanya satu suara dengan Swedia pun ikut mengernyitkan dahi. Denmark misalnya, telah memberlakukan lockdown sejak 13 Maret 2020 dan melarang mengadakan pertemuan dengan lebih dari 10 orang.

Data terakhir (04/04/2020) menunjukkan 6.443 kasus positif COVID-19 dan 373 kematian di Swedia. Hal ini berarti 63.25 kasus per 100.000 penduduk dan 3.69 kematian per 100.000 penduduk. Jika kita bandingkan, Denmark memiliki 4.268 kasus dan 161 kematian, 84.34 per 100.000 penduduk dan 2.87 kematian per 100.000 penduduk. Sedangkan Norway dengan 5.644 kasus dan 62 kematian, atau berarti 105.29 per 100.000 penduduk serta 1.17 kematian per 100.000 penduduk.

Gambar 1. Grafik perbandingan kasus dan kematian per 100.000 penduduk di Skandinavia  (data 4 April 2020)

Grafik di atas menunjukkan bahwa Swedia memiliki proporsi kasus per 100.000 penduduk, atau terendah di antara tiga negara tersebut. Indikator ini kurang baik untuk dijadikan perbandingan karena setiap negara memiliki kebijakan testing yang berbeda. Di aspek kematian per 100.000 penduduk, Swedia memiliki proporsi tertinggi per 100.000 penduduk dengan 3.69 kematian per 100.000 penduduk.

Dengan hasil yang belum jelas ini, mengapa Swedia percaya diri untuk memberlakukan intervensi yang lebih santai? Beberapa poin berikut mungkin dapat menjelaskan pertanyaan tersebut.

Tidak Menutup Sekolah untuk Menjaga Kapasitas Fasilitas Kesehatan

Bila sekolah diliburkan maka orang tua harus berada di rumah untuk menjaga anak-anak mereka. Hal ini menjadi masalah bila orang tua tersebut bekerja di sektor penting seperti fasilitas kesehatan. Anders Tegnell, ahli epidemiologi Swedia, dalam wawancara dengan BBC menegaskan bahwa jika sekolah ditutup maka kapasitas fasilitas kesehatan akan berkurang hingga 20-25%. Hal ini karena para tenaga kesehatan harus menemani anak-anak mereka di rumah karena tidak disarankan untuk menitipkan anak-anak tersebut ke kakek-nenek mereka untuk mencegah penularan.

Gaya Hidup Sendiri 

Berbeda dengan Indonesia yang merupakan masyarakat komunal, praktik hidup sendiri di Swedia sangatlah lumrah. Praktik hidup antar generasi tidak umum di negeri ini. Hal ini sangat menguntungkan di saat pandemik karena dapat mencegah penularan ke anggota keluarga terdekat.

Masyarakat Terpelajar dan Berpendidikan 

Swedia merupakan negara Skandinavia yang memiliki kualitas pendidikan yang baik. Tingkat literasi di Swedia adalah 99%, lebih tinggi dibandingkan Indonesia yang ada di tingkat 95%. Hal ini sangat membantu dalam kondisi pandemik saat ini, karena dengan pendidikan yang baik, warga Swedia dapat mengerti informasi dan melaksanakan instruksi yang diberikan pemerintah dengan baik.

Badan Kesehatan Masyarakat yang Independen

Swedia memiliki badan bernama folkhälsomyndigheten atau Badan Kesehatan Masyarakat yang bertanggung jawab atas urusan kesehatan masyarakat, khususnya pencegahan penyakit. Badan ini merupakan badan yang independen dari politik, untuk menjaga agar intervensi yang diberikan selalu berdasarkan bukti dan ilmu pengetahuan. Independensi badan ini kiranya membuat kepercayaan publik terhadap pemerintah menjadi tinggi.

Swedia Berorientasi pada Keberlanjutan 

Hal yang sangat khas dari Swedia adalah penekanan pada nilai-nilai keberlanjutan (sustainability). Menurut Anders Tegnell, ahli epidemiologi Swedia, intervensi yang lebih santai ini dapat diberlakukan dalam waktu lama oleh Swedia karena tidak mungkin negara akan memberlakukan total lockdown selamanya. Ia menekankan pentingnya upaya membuat kehidupan masyarakat Swedia senormal mungkin, guna mencegah dampak ekonomi dari intervensi agresif yang berpotensi mempengaruhi pembiayaan sistem kesehatan di masa mendatang.

Terlalu dini rasanya untuk menilai pendekatan intervensi negara mana yang ‘benar’. Namun, intervensi yang diambil Swedia ini sangat spesifik dan menyesuaikan dengan keadaan negara dan masyarakat Swedia. Rasanya pendekatan ini tidak cocok untuk diadopsi di negara yang keadaan masyarakat yang jauh berbeda, contohnya Indonesia. Oleh sebab itu, jangan coba terapkan ini di Indonesia!