Cerita dari Taiwan: Respons Tepat Taiwan dalam Menghadapi SARS COV-2 dan COVID-19
Taiwan disebut-sebut sebagai negara yang mengantisipasi penyebaran COVID-19 dengan baik sebelum wabah memburuk. Artikel ini merangkum hal-hal baik yang dilakukan oleh Taiwan dan yang dapat dijadikan contoh.
Penulis: Lalu Muhammad Irham, apoteker bidang Farmakogenomik dan Bioinformatik pada penyakit Hepatitis B dan Hepatocellular carcinoma di Taipei Medical University (TMU) Taiwan. Ia juga saat ini masih tercatat sebagai staf di Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta.
Meski Taiwan merupakan negara kecil, lokasinya yang berdekatan dengan Tiongkok serta frekuensi penerbangan di antara dua negara yang sangat tinggi membuat pemerintah Taiwan terus waspada ketika pandemi COVID-19 melanda. Seperti yang dilaporkan oleh Center for Disease Control (CDC), per 31 Desember 2019 saja, ada total 14 penerbangan dengan 1.317 orang penumpang. Jumlah penduduk Taiwan tercatat kurang lebih 23 juta, dan 404.000 di antaranya bekerja di Tiongkok. Selain itu, jumlah penduduk Tiongkok yang berkunjung ke Taiwan selama 2019 berjumlah 2.71 juta pengunjung. Wabah COVID-19 ini benar-benar membuat panik semua negara, khususnya Tiongkok, Taiwan, Hongkong, dan Macau, karena terjadi bertepatan dengan Tahun Baru Imlek (25-30 Januari 2020), saat-saat ketika jumlah warga yang akan bepergian mengunjungi sanak saudara dan berlibur meningkat drastis setiap tahunnya, mirip dengan padatnya mudik Idul Fitri di Indonesia.
Per tanggal 6 Maret 2020, Taiwan mencatat 45 kasus COVID-19 dengan 1 orang korban yang meninggal dunia. Data ini menunjukkan bahwa Taiwan termasuk 10 negara dengan jumlah kasus terbanyak di seluruh dunia. Tentunya kekhawatiran ini dikarenakan Taiwan juga berdekatan dengan Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok, tiga negara dengan jumlah kasus COVID-19 terbanyak saat itu. Kewaspadaan pemerintah Taiwan terhadap COVID-19 dilandasi oleh wabah SARS pada tahun 2003 yang pernah melanda bumi Formosa ini, sebuah virus yang berasal dari selatan Tiognkok, Guangdong, yang menyebabkan 8000 orang terinfeksi dan 774 meninggal dunia di 37 negara selama 2002–2003 (Chan-Yeung & Xu, 2003). Kejadian 17 tahun yang lalu tersebut menelan korban meninggal dunia sebanyak 73 orang warga Taiwan. Hal ini memberika pelajaran berharga bagi pemerintah Taiwan untuk mengantisipasi berbagai macam musibah, termasuk COVID-19.
Begitu informasi tentang COVID-19 menyebar, pemerintah Taiwan dengan sigap memobilisasi dan mengidentifikasi kasus yang mungkin terjadi serta menyiapkan berbagai macam antisipasi untuk melindungi warganya. Ada beberapa catatan penting tentang bagaimana pemerintah Taiwan menghadapi wabah yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 ini:
Sistem National Health Insurance (NHI) yang sangat baik
Taiwan memiliki sistem asuransi kesehatan atau National Health Insurance (NHI) yang dapat mengintegrasi database di Imigrasi dengan NHI yang dipegang oleh tiap warga yang tinggal di Taiwan, baik warga asli maupun pendatang. NHI tersebut mencatat riwayat negara yang pernah dikunjungi oleh warganya. Setiap warga datang ke rumah sakit atau apotek, tenaga kesehatan dapat mengecek NHI warga tersebut dan dapat melihat di komputer negara mana saja yang pernah dikunjunginya dalam satu bulan terakhir.
Dengan catatan riwayat tersebut, Imigrasi dapat mendata penduduk yang berkunjung ke Tiongkok dan dapat memberikan peringatan melalui SMS agar mereka melakukan karantina diri di rumah selama 14 hari. Jika ada warga yang tidak patuh, pemerintah Taiwan tidak segan-segan memberikan hukuman denda sebesar 200.000 NTD atau setara dengan Rp100.000.000, 00. Tak hanya itu, pemerintah Taiwan secara aktif menjemput bola dengan selalu mengingatkan warganya untuk segera melapor jika memiliki keluhan demam, flu, dan batuk lewat hotline khusus. Bahkan, sejak World Health Organization (WHO) mengumumkan kasus pneumonia dengan penyebab yang tidak diketahui di Wuhan, Tiongkok pada 31 Desember 2019, pemerintah menghentikan penerbangan dari dan ke Wuhan dari bandara international Touyuan terhitung 5 Januari 2020.
Pembentukan pusat-pusat informasi perkembangan COVID-19 yang tersentralisasi
Sejak informasi mengenai virus SARS Cov-2 ini tersiar ke sejumlah negara, pemerintah Taiwan berlaku proaktif dalam memberikan berita akurat dan terkini melalui CDC. CDC juga aktif dalam memperbaharui informasi mengenai perkembangan para pasien, suspect, hingga korban yang meninggal dunia. Setiap warga Taiwan dapat mengakses informasi tersebut di tautan ini yang tersedia dalam bahasa Mandarin dan Inggris. Meski demikian, pihak CDC tidak pernah mengungkapkan nama pasien, alamat tempat tinggal, atau tempat pasien tersebut dirawat untuk melindungi privasi pasien dan rumah sakit. CDC hanya menyampaikan riwayat bepergian pasien untuk mengantisipasi penyebaran virus di area yang pernah dilalui oleh pasien.
Termasuk setelah kapal pesiar Diamond Princess bersandar di pelabuhan Keelung, dekat New Taipei City, pada 31 Januari 2020, handphone kami bergetar menerima SMS langsung dari pemerintah Taiwan, yang bekerja sama dengan provider setempat. Isinya adalah peringatan untuk menghindari 50 lokasi di Taipei yang sempat disinggahi oleh penumpang kapal dan untuk melakukan self-monitoring bagi warga yang merasa pernah berkontak dengan para penumpang kapal pesiar tersebut karena ada penumpang yang positif COVID-19 dalam perjalanan ke Jepang (Wang, Ng, & Brook, 2020).
Harga masker yang stabil
Ketersediaan masker dijamin oleh pemerintah. Walaupun di pertengahan Februari 2020 masker sempat langka dan pembelian masker dibatasi sebanyak 2 buah untuk setiap orang dalam seminggu (dengan syarat membawa kartu asuransi), harga masker tetap normal, yaitu 10 NTD atau setara Rp5.000,00 untuk 2 buah. Demikian juga dengan masyarakat yang ingin membeli masker di apotek meski mereka harus mengantri lebih lama daripada biasanya. Perlahan-lahan saya melihat adanya kestabilan dalam persediaan masker. CDC pun memastikan ketersediaan masker dengan meningkatkan produksi masker. Stok yang tersedia pada tanggal 20 Januari 2020 mencapai 44 juta masker bedah (surgical masks), 1.9 juta masker N95, serta 1100 baju steril untuk pemakaian di ruang isolasi.
Produktivitas para ilmuwan Taiwan
Jika kita ingin menelusuri jejak keaktifan para ilmuwan di Taiwan dalam berkarya, kita dapat menelusurinya di PubMed (mesin pencari artikel imliah). Sejak awal Januari 2020, jumlah artikel oleh peneliti Taiwan yang ditemukan di PubMed dengan kata kunci “Taiwan”, “COVID”, dan “SARS CoV-2” di kolom pencarian per tanggal 11 Maret tercatat 14 artikel. Beberapa terbit di jurnal bergengsi JAMA. Di samping itu, Academia Sinica selaku pusat penelitian para ilmuwan di Taiwan tidak berdiam diri. Seperti yang dilansir oleh Taiwan News, mereka berkolaborasi dengan Food and Drug Administration Amerika (FDA) dalam pengujian klinis remdesivir yang berpotensi menjadi obat baru untuk COVID-19.
Intinya, Taiwan merupakan negara dengan respons dan kesiapsiagaan yang sangat baik dalam menghadapi wabah COVID-19. Tim medis, dengan pengalaman dan pelatihan yang memadai, memungkinkan upaya mitigasi yang cepat dan tanggap. CDC berperan aktif sebagai sumber informasi utama bagi masyarakat sehingga tidak terjadi simpang siur informasi terkait COVID-19. Taiwan is a good example of how a society can respond quickly to a crisis and protect the interests of its citizens.
Referensi:
Chan-Yeung, M., & Xu, R. H. (2003). SARS: epidemiology. Respirology, 8 Suppl, S9-14. doi:10.1046/j.1440-1843.2003.00518.x
Wang, C. J., Ng, C. Y., & Brook, R. H. (2020). Response to COVID-19 in Taiwan: Big Data Analytics, New Technology, and Proactive Testing. JAMA. doi:10.1001/jama.2020.3151 %J JAMA