Lanjut ke konten

Rapid test atau swab test: Apa bedanya? Mana yang lebih baik?

Perbandingan metode rapid test dan swab test dalam pendeteksian COVID-19.

Kawal COVID-19's Avatar
Kawal COVID-19Tim administrator situs KawalCOVID19.id

Rangkuman Eksekutif

  1. RT-PCR merupakan satu-satunya standar pengujian COVID-19 yang diakui WHO.
  2. Tes Antibodi hanya dapat digunakan saat antibodi sudah terbentuk, tidak dapat digunakan sebagai alat diagnostik awal, terutama bagi pasien yang tidak/belum bergejala. 
  3. RT-PCR sebagai standar-emas pengujian SARS-CoV-2 memerlukan tes kit untuk mengambil sampel swab dari rongga nasofaring dan cairan reagen untuk mengisolasi potongan kode genetik yang dimiliki virus yang diuji. Metode ini tidak bebas dari kemungkinan human error, false positive maupun false negative.
  4. Baik tes antibodi maupun PCR memiliki jendela waktu yang optimum dalam masa inkubasi atau infeksi seseorang. Hasil tes yang mana pun perlu diperkuat dengan pemeriksaan gejala-gejala klinis serta sejarah perjalanan/kontak dengan ODP/PDP/Positif COVID-19. (Artinya, hasil tes negatif bagi seseorang yang menunjukkan gejala klinis COVID-19 atau punya sejarah kontak dengan pasien positif COVID-19 tidak bisa membebaskan dia dari protokol COVID-19)
  5. Kapasitas testing virus SARS-CoV-2 perlu digunakan bersamaan dengan karantina dan pelacakan kontak sebagai trisula kontainmen wabah COVID-19. Tanpa salah satu dari tiga aspek tersebut, maka usaha pengendalian laju penyebaran wabah COVID akan sia-sia.

TABEL I Perbandingan Metode Test COVID-19

TesYang diujiSampelPerlu BSL-2Sensitivitas tertinggi*Spesifisitas tertinggi*Hasil Kapasitas per alatHarga
RT-PCRPotongan kode genetik (RNA/DNA)SwabYa100%100%6 jam s/d2 hariAntara 50 – 400 sampel per run.Perlu investasi alat PCR, lab, test kit dan reagen.
POC-PCRPotongan kode genetik (RNA/DNA)SwabTidak wajib100%100%<1 jamAntara 4 -12 sampel per runInvestasi alat, test kit dan reagen. 
AntibodiAntibodi (IgG dan IgM)Darah (Finger Prick), SerumTidakIgM 85.0% (17/20) IgG 100.0% (20/20) **

IgM 96.0% (48/50) IgG 98.0% (49/50)**
<30 menit1 sampel per kitMurah, cukup membeli kit saja

*Diambil dari beberapa contoh Website School of Public Health Saw Swee Hock: Diagnostics Laporan 13 April 2020, data tertinggi yang ada di Appendix A. 

** Dibandingkan dengan RT-PCR komersial dari merk terkemuka, angka dalam kurung adalah jumlah pasien yang hasil tesnya yang sama dengan PCR.

Tabel Akurasi

Kriteria AkurasiKriteria untuk Hasil100% – Sensitivitas atau Spesifisitas
SensitivitasPositifKemungkinan False Positive
SpesifisitasNegatifKemungkinan False Negative

Bila sensitivitas suatu metode tes dicantumkan 92%, artinya kemungkinan false positivenya 8%. Bila spesifitasnya dicantumkan 85% artinya kemungkinan false negativenya 15%.


Pengantar

Setelah sekian lama didesak berbagai pihak untuk meningkatkan kapasitas testing, Indonesia akhirnya mendatangkan sejumlah alat tes RT-PCR berkapasitas 500 sampel per hari untuk didistribusikan di berbagai provinsi.

Kurang dari satu bulan sejak Presiden memerintahkan penambahan 12 laboratorium untuk ikut menangani tes COVID-19 pada tanggal 17 Maret 2020, kini sudah ada 18 mesin PCR baru.  Dengan penambahan ini, 29 dari 78 laboratorium yang dapat menerima sampel COVID-19 sudah diaktifkan untuk menganalisis spesimen dari orang-orang yang dites.

Untuk memberikan pertolongan dini bagi yang positif sekaligus membendung penyebaran virus, tidak ada jalan pintas. Negara harus melakukan testing massal dan pelacakan kontak (contact tracing). Negara-negara yang sampai saat ini dinilai berhasil meredam laju penyebaran virus dan menekan tingkat kematian seperti Australia, Selandia Baru, Islandia, sampai Korea Selatan, melakukan dua hal ini.

  1. Testing massal, dengan rasio yang mencapai setidaknya 10 tes per 1.000 penduduk. Data Our World in Data.org per 25 April, Indonesia baru mencapai 0,19 tes per 1.000 penduduk.
  1. Pelacakan kontak (contact tracing) untuk setiap kasus positif, sehingga pemerintah tahu siapa lagi yang perlu diprioritaskan untuk dites.

Metode testing yang digunakan dalam mengidentifikasi Covid-19 pun beragam, secara spesifik ada dua:

  1. Mencari apakah virus SARS-CoV-2 ada di dalam tubuh pasien, secara spesifik tes ini mencari urutan genetik virus melalui spesimen yang diambil dari tubuh pasien. Tes ini biasanya dilakukan dengan mengambil sampel dari rongga nasofaring
  2. Mengukur reaksi antibodi yang dihasilkan sistem pertahanan tubuh manusia sebagai reaksi dari infeksi virus tersebut. Tes ini disebut tes antibodi dan dilakukan dengan mengambil sampel darah dengan metode tusuk jari, serupa dengan prosedur cek gula darah.

Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)

RT-PCR adalah proses yang digunakan untuk mengkonfirmasi apakah seseorang mengidap COVID-19 dengan mendeteksi asam ribonukleat (RNA) dari virus SARS-CoV-2.  

Cara pengambilan sampel: mengambil swab dari rongga nasofaring ODP atau PDP, 

Cara analisis: urutan genetik RNA dari sampel tersebut diisolasi dan disalin balik (reverse transcription) membentuk pasangan DNA. Selanjutnya hasil salinan ini diperbanyak hingga ribuan kali melalui reaksi berantai polimerase (PCR), dengan menggunakan siklus termal berulang-ulang untuk memperbanyak/mengamplifikasi DNA yang diuji tersebut.  Satu siklus akan menggandakan DNA yang diuji tersebut, dari satu sampel menjadi 2, 4, 8,  dan seterusnya (2n). Proses amplifikasi ini biasanya berlangsung hingga 35 kali (235  = 34 miliar lebih) dan memakan waktu antara 6 jam – 2 hari. 

Keuntungannya: RT-PCR ini merupakan metode yang menurut WHO paling akurat dalam menguji virus COVID-19

Kendalanya: proses ini tidaklah semudah yang dibayangkan.  Banyak tenaga ahli/terlatih perlu dilibatkan baik untuk pengambilan swab sampai menjalankan protokol RT-PCR COVID-19. Cara ini juga memerlukan laboratorium dengan biosecurity level 2. 

Standar RT-PCR memang tinggi, sehingga tes RT-PCR lebih mahal biaya investasi awalnya. Karenanya, pendekatan di Uni Eropa dan Amerika Serikat adalah memberikan lisensi darurat bagi teknologi PCR point-of-care (POC) yang memiliki akurasi seperti RT-PCR tapi bisa mengeluarkan hasil dalam waktu 7 menit dan dapat digunakan di lab yang standarnya lebih rendah dari BSL2.  Contoh teknologi PCR POC lain adalah alat uji molekular cepat yang biasa digunakan untuk diagnosis tuberkulosis di Indonesia. Dengan perubahan test kit, alat-alat tersebut bisa digunakan untuk menguji virus COVID-19. Salah satu aspek biaya yang mahal juga datang dari kebutuhan test kit yang digunakan untuk mengambil sampel swab dari pasien. Baru-baru ini BPPT dan PT Bio Farma mengumumkan produksi kit tes PCR secara lokal. BPPT juga bekerja sama dengan Nusantics, startup lokal di bidang bioteknologi dalam pengembangan testing dengan produk bioteknologi yang dikembangkan di dalam negeri. 

Selain segi manusia, integritas sampel juga dipengaruhi oleh waktu pengambilan sampel, dari mana sampel diambil serta penanganan sampel saat ditransfer ke laboratorium. Pemilihan reagen dan protokol analisis sangat mempengaruhi akurasi tes ini, walaupun secara teori akurasi metode ini adalah 100%.

Meskipun akurasinya sangat tinggi, salah satu kekurangan intrinsik tes PCR adalah limit deteksinya. Apabila jumlah partikel virus terlampau kecil, maka PCR akan memberikan hasil negatif. WHO menyatakan median durasi virus shedding adalah 14 hari. Dimana pada periode tersebut, jumlah partikel virus dalam tubuh dapat berfluktuasi. Beberapa pasien yang sudah sembuh bahkan dilaporkan masih menyebarkan virus setelah 22 hari. Beberapa lab di Korea Selatan dan India masih menemukan hasil tes positif COVID-19 pada hari ke-35. 

Tes Antibodi/Serologis 

Tes antibodi adalah salah satu bentuk rapid testing yang banyak digunakan di China untuk menyeleksi pasien yang bergejala COVID-19. Tes ini bekerja dengan cara mencari antibodi (imunoglobulin(Ig) G dan M) dalam darah sebagai bukti bahwa tubuh sedang atau sudah pernah memerangi virus SARS-CoV-2. Salah satu publikasi tes antibodi untuk COVID-19 melaporkan spesifisitas dan sensitivitas sebesar masing-masing lebih dari 90% dan 88%. 

Cara pengambilan sampel: cukup dengan mengambil sampel darah dengan tusuk jari, serupa dengan cara mengetes gula darah.

Cara analisa: hasil dari tes ini bisa didapatkan dalam waktu kurang dari 30 menit tanpa memerlukan proses kimia yang rumit oleh tenaga ahli/analis lab.

Keuntungannya: Keunggulan dari tes ini adalah teknologinya sudah ada sejak lama, serupa dengan tes kehamilan dan tes antibodi influenza. Harganya relatif lebih murah dibandingkan RT-PCR, tidak memerlukan peralatan dan persyaratan lab. 

Kendalanya: metode ini tidak dapat digunakan sebagai alat deteksi dini bagi orang-orang yang masih dalam hari-hari pertama proses inkubasi. Tingkat antibodi IgG dan IgM masih rendah saat hari-hari pertama infeksi, meskipun jumlah partikel virus sangat tinggi di awal. Seperti ilustrasi di atas, bila pasien diuji dengan tes antibodi di kondisi merah, hasil tes antibodi akan negatif palsu, meskipun kenyataannya pasiennya mengidap COVID-19. Karenanya penting bahwa seseorang yang dianggap berisiko tinggi tapi negatif di tes antibodi pertama, dites lagi sekitar seminggu sesudahnya.