Kisah Mila*: Perjuangan di Ruang Isolasi dengan Status PDP
Benarkah Rumah Sakit mempositifkan banyak orang demi mendapat insentif pemerintah?
28 Mei 2020
Saya mulai tidak enak badan: meriang, badan sakit semua, tiba-tiba ada demam tinggi. Saya minum obat penurun panas, tapi demam tetap naik turun. Saya coba banyak istirahat, banyak makan dan minum juga. Dua hari kemudian mulai mual dan diare, tapi masih saya tahan untuk tidak ke dokter.
1 Juni 2020
Malam hari saya memutuskan ke RS Permata Pamulang melalui IGD karena kondisi memburuk: demam naik turun, mual, muntah, lemas, diare, dan kini ada pendarahan dari hidung. Saya langsung ditangani tenaga medis: pasang infus, obat anti pendarahan, cek darah, dan ditanya kronologi gejalanya. Setelah hasil cek darah keluar, terlihat bahwa trombosit saya rendah (hanya sekitar 35.000, normalnya 150-400 ribu). Saya didiagnosa demam berdarah dan perlu menginap.
Saya juga diberi info bahwa harus rapid tes COVID-19 untuk prasyarat rawat inap. Beberapa jam kemudian diberi tahu bahwa hasilnya reaktif sehingga saya harus dirawat di ruang isolasi (lihat Catatan tambahan dari KawalCovid19.id di akhir artikel ini)
2 Juni 2020
Pagi hari saya mendapat kabar bahwa saya harus dirujuk ke RS COVID-19 karena status sudah PDP (saat ini istilah tersebut berganti menjadi suspek). Sedih karena ini berarti suami juga tidak bisa menemani. Sekitar jam 1 siang, pihak RS sudah mendapat RS rujukan yang mau menerima saya, yaitu RS Siloam Kelapa Dua Tangerang. Saya langsung dipindahkan ke sana memakai ambulans didampingi 3 tenaga medis ber-APD lengkap, sementara suami mengikuti dengan mobil pribadi di belakang ambulans.
Sekitar jam 3 siang saya sampai di RS rujukan, suami saya tidak bisa mengantar sampai ruangan rawat. Saya langsung masuk kamar rawat isolasi benar-benar sendirian tidak boleh ada yang jenguk.
Saya dirawat isolasi selama 9 hari dari tanggal 2-11 Juni. Selama itu saya benar-benar diuji fisik dan mental. Saya sendirian, lalu berpikir misalnya saya atau suami meninggal karena COVID-19 akan dikubur di mana, jenazah akan diterima atau tidak, memikirkan keluarga yang ditinggal.
Selain ujian mental, secara fisik saya diuji juga karena demam berdarah saya sempat kritis. Tiap hari sampel darah saya diambil untuk cek trombosit. Untuk memastikan apakah saya COVID-19 atau tidak, dilakukan juga 2x rontgen thoraks, 1x CT scan thoraks, dan tentunya 2x swab tes dan juga terapi obat (tes swab dilakukan tanggal 5 dan 8 Juni).
Alhamdulillahirobbilalamin saya makin hari makin membaik: tes darah, fungsi vital tubuh (suhu, nadi, tekanan darah) semua selalu stabil. Hasil rontgen dan CT scan thoraks bersih (tidak ada indikasi radang di di paru-paru).
11 Juni 2020
Hasil tes swab kedua saya keluar, dan alhamdulilah negatif COVID-19 sehingga saya boleh pulang. Kesimpulannya saya hanya demam berdarah, sementara hasil rapid tes reaktif menurut dokter bisa disebabkan oleh virus DBD dalam tubuh saya. Dan selama 9 hari rawat inap, saya tidak ditagih apa pun.
Saya mengalami sendiri bagaimana rasanya jadi PDP COVID-19, masuk ruang isolasi, stresnya sendirian memikirkan kemungkinan terkena COVID-19 padahal belum tentu positif. Saya merasakan bagaimana dirawat oleh tenaga medis ber-APD lengkap yang cuma keliatan matanya. Apa yang selama ini saya cuma lihat di TV benar-benar terjadi di depan mata saya. Saya melihat sendiri bagaimana mereka bolak-balik tanpa kenal lelah saat pasien membutuhkan 😢😢😢😢
Jadi tidak benar dan kurang etis bila ada yg mengatakan ini konspirasi rumah sakit, atau ini akal-akalan tenaga medis biar dapat uang banyak dengan mengatakan semua pasien itu COVID-19 😥😥😥
Hasil rapid tes reaktif juga tidak menjamin seseorang positif COVID-19, jadi berusahalah untuk tetap tenang selama dites swab dan menunggu hasilnya. Harapan saya hasil tes swab bisa keluar lebih cepat supaya pasien tidak kadung drop karena lama menunggu. Semoga pemerintah bisa memperbaiki semuanya. Semoga tenaga medis tetap kuat menjalankan tugas.
Catatan kawalcovid19.id
- Ketika kejadian ini berlangsung, hasil rapid tes yang reaktif masih menjadi prasyarat untuk bisa diswab. Prasyarat ini tidak tepat karena (a) Rapid tes tidak bisa digunakan untuk mendiagnosa virus SARS-CoV2 dalam tubuh (b) Hasil rapid tes reaktif tidak berarti orang tersebut positif COVID-19 sehingga memberikan rasa khawatir berlebihan (c) Hasil rapid tes non reaktif tidak berarti orang tersebut tidak memiliki virus SARS-CoV2 sehingga memberikan rasa aman yang semu. Per 14 Juli 2020, protokol Kementerian Kesehatan menyebutkan agar rapid tes tidak lagi digunakan untuk mendiagnosa kasus COVID-19.
- Testing yang tepat adalah ketika ada gejala konsisten dengan COVID-19 dan/atau memiliki riwayat kontak dengan orang positif COVID-19, langsung diisolasi dan dites PCR agar segera mendapat kepastian
*Nama sebenarnya disamarkan
Artikel terkait: