Seri Penyintas COVID-19: Ketidakjujuran Pasien ICU dan Keluarganya Membuat Saya Terpapar dan Diintubasi
Akibat kebohongan satu orang, sedikitnya tujuh orang tim medis dan non-medis di RS rujukan COVID-19 di Yogyakarta terinfeksi.
Penulis: Faranisa (perawat di Yogyakarta asal dari Bandung)
Saya adalah salah satu perawat di RS rujukan COVID-19 dan bertugas di ICU. Di RS ini, pasien terpapar COVID-19 ditempatkan di bangsal dengan petugas kesehatan terpisah.
Pada tanggal 26 Mei pagi, seorang pasien dari bangsal dipindahkan ke ICU karena kondisi yang memburuk dan kemungkinan membutuhkan intubasi dan ventilator. Karena dinyatakan tidak ada indikasi COVID-19 dan baru dua hari di bangsal, kami hanya mengenakan APD level dua.
Ketika pasien sudah masuk ICU, dokter langsung memutuskan untuk intubasi dan pemasangan ventilator. Yang bertugas untuk intubasi ada tiga orang, termasuk saya. Walaupun sudah dibius, pasien tidak kooperatif sehingga proses intubasi berjalan cukup lama.
Pada tanggal 27 Mei, keluarga pasien memberi kabar bahwa pasien positif COVID-19 berdasarkan hasil swab di RS lain. Awalnya keluarga menutupi kalau pasien terpapar. Namun, mereka akhirnya mengakui bahwa pasien baru mudik dari Jakarta. Kami pun lemas mendengar berita tersebut.
Situasi menjadi panik dan kami diharuskan segera menjalani rapid dan swab test. Baru kali ini kami kecolongan. Saya termasuk orang yang paling rentan karena menangani pasien tersebut, mulai dari masuk ICU hingga intubasi. Selain itu, saya memiliki jam kerja panjang sehingga otomatis paling sering berinteraksi dengan pasien. Hasil rapid test saya negatif, jadi tinggal menunggu hasil swab. Demi keamanan tenaga medis lain, saya dibebastugaskan sampai hasil swab keluar.
Selama dibebastugaskan, saya menjalani isolasi mandiri sampai pindah kamar kos di pojok. Prinsip saya, karena saya berpotensi menjadi carrier, jangan sampai saya menulari orang lain. Saat itu saya belum tahu hasil tes swab, tapi saya sudah berlaku seolah-olah saya positif COVID-19 sehingga ketat dalam mengisolasi diri.
Pada hari kedua, saya mulai merasakan sakit tenggorokan dan flu. Saya masih santai, atau lebih tepatnya berusaha menyangkal. Namun, karena takut, akhirnya pacar yang kebetulan bertugas sebagai dokter di RS yang sama menuliskan resep. Sayangnya, kondisi saya tidak membaik. Tenggorokan terasa sakit hingga susah menelan dan malamnya batuk mulai muncul. Saya bertanya ke teman-teman yang ODP apakah mereka juga bergejala. Ternyata hanya tim yang bertugas di ICU yang menunjukkan gejala. Sampai di sini sudah terlihat kan polanya?
Pada hari ketiga, gejala yang dirasakan masih sama, tetapi batuknya bertambah parah. Saya berusaha mengalihkan perhatian dan menyibukkan diri dengan mengikuti webinar, menonton film, memantau Twitter, sambil meyakinkan diri bahwa saya baik-baik saja.
Akhirnya, hasil swab keluar sekitar jam 12 dini hari dan dikirim melalui email. Hasilnya positif. Saya kecewa tapi tidak kaget.
Saya langsung mengabari keluarga untuk minta doa. Saya menangis sampai Subuh dan sempat mengalami sesak napas. Ketika itu, saya memutuskan akan menghubungi RS setelah salat Subuh. Namun, belum sempat salat, napas saya bertambah sesak, rasanya seperti rasa hampir tenggelam disertai gemetar dan keringat dingin. Pacar saya segera menghubungi RS untuk menjemput.
Saya dimasukkan ke ruang isolasi khusus COVID-19. Rasanya sepi sekali. Hasil rontgen menunjukkan paru-paru saya sudah didominasi warna putih dan saturasi oksigen perifer di bawah 90%. Terapi oksigen yang diberikan tidak membawa hasil. Bernapas rasanya susah sekali.
Dokter menyarankan intubasi dan saya sempat menolak karena takut. Tapi dokter saya bilang, “Kalau kamu tidak mau diintubasi, artinya kamu menyerah sama COVID-19.” Akhirnya saya setuju.
Gambaran intubasi untuk pemasangan ventilator.
Bagaimana rasanya bernapas dengan ventilator? Sakit sekali! Selama menggunakan ventilator, makanan dan minuman dimasukkan menggunakan sonde (selang yang dimasukkan melalui hidung menuju lambung), tanpa melewati tenggorokan sehingga bibir dan tenggorokan menjadi sangat kering dan sakit. Pemasangan sonde juga sangat sulit karena polip hidung saya yang besar. Untuk mengurangi rasa kering dan sakit di tenggorokan dan mulut, saya sering minta untuk diteteskan air di mulut.
Sempat terpikir untuk mencabut selang ET karena rasa sakit yang luar biasa, tapi untungnya bisa menahan diri. Ditambah setelah inhalasi, dahak biasanya berkumpul di tenggorokan yang membuat risih dan rasa tidak nyaman saat dahak dan lendir disedot keluar (suction).
Rabu pagi saya lepas ventilator dan sudah sadar penuh, tapi masih demam tinggi. Sekujur tubuh rasanya sakit. Saya merasa berada di titik paling rendah. Akhirnya saya sanggup menghubungi keluarga pada hari Jumat dan karena kondisi yang masih lemah, saya baru bisa menghubungi mereka kembali lima hari berikutnya.
Kondisi salah seorang tim ICU juga agak parah. Ia masih menggunakan ventilator dan belum sadar. Padahal istrinya sebentar lagi melahirkan anak pertama. Total ada tujuh orang tim medis dan non-medis yang terinfeksi.
Kondisi membaik dari hari ke hari.
Sebagai informasi, sebelum terkena COVID-19, saya sehat dan tidak memiliki keluhan. Menurut dokter, saya termasuk pasien positif yang efeknya serius. Tapi proses penyembuhan saya juga termasuk cepat, walaupun belum dinyatakan bersih.
Yang saya mau tekankan di sini adalah COVID-19 tidak hanya menyerang dan memperparah kesehatan orang dengan komorbid. Ada yang bilang, “Tidak apa-apa kena COVID-19, selama muda dan sehat.” Buktinya, COVID-19 menyerang saya dengan ganas dan hanya butuh empat hari untuk bikin paru-paru ambruk. COVID-19 bukan konspirasi.
Akhirnya saya bebas COVID-19 setelah berjuang selama satu bulan! Selama perawatan, saya sedih sekali karena jauh dari keluarga. Untungnya keluarga kedua saya di rumah sakit selalu mendukung. Mereka selalu bergantian menemani, padahal bukan jam jaga mereka. Untuk itu, saya mau mengapresiasi tenaga medis dan non-medis yang berjuang melawan COVID-19. Terima kasih banyak sudah bersedia merawat pasien-pasien yang membawa risiko untuk kalian dan keluarga di rumah. Semoga apa yang kalian lakukan diganjar pahala yang berlipat-lipat nilainya.
Hasil swab yang menyatakan saya telah sembuh dari COVID-19
Saya ingin mengimbau teman-teman pembaca agar tidak berbohong ketika periksa ke pelayanan kesehatan, terutama di masa pandemi seperti ini. Ketika pasien positif COVID-19 berbohong, pasien tersebut dapat menulari banyak orang karena ia melakukan banyak kontak dengan pekerja RS, termasuk satpam, customer service dan para petugas medis. Para pekerja RS ini juga setiap hari pulang ke rumah dan bertemu keluarga. Bisa dibayangkan banyaknya jumlah orang yang mungkin tertular.
Saya juga mengimbau kalian untuk tidak menyebarkan berita COVID-19 dengan komentar negatif. Hargai orang-orang yang setiap hari merawat pasien-pasien COVID-19, baik tenaga medis maupun non-medis. Jika ingin menyebar berita, pastikan sumber beritanya jelas dan terpercaya.
Sebagai penutup, jangan menggampangkan COVID-19. Mungkin Anda tidak takut COVID-19. Tapi coba pikirkan orang-orang di sekitar Anda – suami, istri, anak, orang tua, keluarga, sahabat, dan juga orang-orang yang masuk dalam populasi rentan seperti lansia, orang dengan komorbid, dan balita. Bagaimana jika Anda menjadi penyebar virus? Anda boleh teledor untuk diri sendiri tapi tidak dengan kehidupan orang lain. Mereka bisa meninggal karena keegoisan Anda.