Hoax dan Misinformasi Seputar COVID-19; Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Perkembangan Terkini Seputar Hoax COVID-19
Disarikan oleh Dhio & Satrio, Tim Media Monitoring KawalCOVID19
Tanggapan WHO Mengenai Infodemi yang Menyertai Wabah COVID-19
Infodemi, seperti yang didefinisikan WHO, adalah kondisi berlebihnya informasi yang membuat masyarakat sulit untuk membedakan mana informasi yang benar dan mana yang tidak. Salah satu inisiatif WHO untuk menanggulanginya adalah membuat mythbusters (kanal anti hoax) yang berfungsi sebagai kanal untuk meluruskan misinformasi. Selain di situs web WHO, informasi dari mythbusters tersebut juga rutin disampaikan lewat Facebook, Instagram, Twitter, Linkedin, Pinterest, dan Weibo.
Perkembangan Terkini Seputar Hoax COVID-19
Sepanjang bulan Maret. situs Turn Back Hoax telah mengidentifikasi 158 hoax seputar COVID-19. Angka tersebut meningkat tajam dibanding bulan-bulan sebelumnya, 18 dan 41 hoax dilaporkan masing-masing di bulan Januari dan Februari. Di bulan April, hoax yang dilaporkan hingga tanggal 10 sudah mencapai 51 laporan, laju yang serupa dengan bulan Maret. Di antara hoax yang berhasil teridentifikasi di Turn Back Hoax dan masuk ke situs KawalCOVID19 adalah hoax bawang merah dapat menyembuhkan COVID-19. Contoh hoax lain yang berhasil diidentifikasi adalah kokain dapat membunuh virus korona, serta minuman beralkohol dan rokok sebagai pencegah resiko COVID-19.
Ibuprofen: Misinformasi di Kala Wabah COVID-19
Pada 14 Maret, Kementerian Kesehatan Perancis membuat peringatan untuk tidak mengkonsumsi ibuprofen, begitu pula dengan Menteri Kesehatan Perancis dengan rekomendasinya di Twitter. Peringatan ini berdasar dari studi yang melaporkan hubungan koronavirus dengan enzim ACE-2 yang ditemukan lebih banyak di pasien-pasien dengan komorbiditas darah tinggi dan diabetes. Peringatan dari Prancis itu didasari pada hipotesis mereka bahwa obat anti-inflamasi non-steroid (NSAID) seperti aspirin dan ibuprofen yang meningkatkan kadar enzim ACE-2 dalam tubuh diduga dapat meningkatkan keparahan bila yang bersangkutan tertular COVID-19. Rekomendasi tersebut tersebar lewat kanal media dari berbagai belahan dunia. Namun, WHO dan Badan Pengawas Obat Eropa mengatakan bahwa penggunaan ibuprofen tidak dilarang dan pengaruhnya terhadap COVID-19 masih dipelajari. Mereka juga mengingatkan bagi orang-orang yang sudah menggunakan OAINS (obat anti inflamasi non-steroid) untuk menangani kondisi mereka saat ini untuk tidak perlu menghentikan pengobatan mereka. Ini hanyalah satu contoh dari misinformasi yang beredar dalam kecepatan perubahan informasi di saat pandemi COVID-19 ini. Contoh lain seperti penggunaan klorokuin atau lazim dikenal sebagai pil kina sebelum ada hasil uji klinis, artikel potensi penularan pada orang-orang yang jogging atau bersepeda yang ternyata belum melewati proses tinjauan oleh sejawat (peer-review).
Cara Melawan Misinformasi Selama Wabah
- Pertimbangkan sumbernya:
Jangan langsung menyebarkan informasi dari internet. Kembangkan rasa skeptis yang sehat, berpikir motif atau framing dari pembuat artikel. - Selalu waspada terhadap temuan/laporan ilmiah:
Wabah COVID-19 disebabkan oleh virus yang baru dan masih dipelajari secara ilmiah dari berbagai disiplin ilmu. Hasil riset yang berupa simulasi sangat tergantung asumsi dan informasi yang diketahui saat itu. Penemuan terkait COVID-19 bisa dikomunikasikan tanpa melewati proses tinjauan sejawat. Waspadai klaim yang terdengar berlebihan atau terdengar sangat mudah, seperti bawang putih dapat mencegah COVID-19. Cek juga latar belakang peneliti, keahlian, jurnal yang diterbitkan, dan berpikir terbuka untuk menerima perubahan seputar virus ini. (Contoh: Pemakaian Masker, Droplet) - Pikirkan akibat sebelum membagikan sesuatu
- Apakah isi berita sama dengan tajuk/judul?
- Apakah sumbernya sering melakukan click-bait?
- Apa konteks dari ucapan yang dikutip tersebut, apakah itu kalimat yang dikutip secara utuh?
- Apa motif dari si pembuat berita?
- Apakah yang saya akan bagikan ini benar?
- Apakah yang saya akan bagikan ini bermanfaat?
Saat Pihak Berwenang Menyebarkan Misinformasi
Pada awal April, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan menyebutkan bahwa virus SARS-CoV-2 tidak bisa bertahan di daerah beriklim panas. Luhut merujuk pada kajian BMKG untuk mendukung pernyataannya. Pernyataan tersebut kemudian menimbulkan pro-kontra.
Untuk menghadapi simpang siur informasi seperti ini, ada baiknya untuk memperhatikan sumber lain serta konteks dari pernyataan tersebut. Di antaranya, Tempo menyimpulkan bahwa secara umum, pernyataan tersebut belum bisa dibuktikan bila tidak bisa disimpulkan keliru. Perlu diingat negara tropis umumnya bertemperatur tinggi tapi kelembabannya juga tinggi, sedangkan droplet dan fomite bertahan lebih lama di suhu rendah dan kelembaban tinggi. Seperti diketahui, negara-negara beriklim tropis dan bercuaca panas seperti Indonesia juga mengalami penyebaran wabah COVID-19, seperti Singapura, Malaysia dan Ekuador. Dikutip oleh Jakarta Post, Ketua BMKG, Dwikorita Karnawati juga menyatakan bahwa meskipun terdapat potensi penghambatan wabah oleh iklim tropis, faktor ini tidak bisa mencegah transmisi kontak saat orang tidak menerapkan physical distancing.
Kasus lain, seperti Jubir Gugus Tugas Covid-19 yang baru-baru ini dikutip mengatakan bahwa masa inkubasi virus COVID di Indonesia adalah 5 – 6 hari. Di saat lain, beliau juga sempat mengatakan kalau SARS-CoV-2 dan COVID-19 berbeda saat menerangkan kasus pria Jepang yang terbukti positif COVID-19 sepulang dari Indonesia. Dengan panduan di atas, pembaca dapat melakukan cek fakta, bahwa angka 5-6 hari itu rata-rata saja, sementara masa inkubasi virus ini menurut sumber-sumber yang terpercaya adalah 1 – 14 hari. Ada baiknya pembaca juga memahami apa yang dimaksud dengan kurva distribusi normal. SARS-Cov-2 atau nCoV adalah nama yang diberikan pada virus korona, sedangkan COVID-19 adalah nama penyakit yang disebabkannya.
Penutup
Dalam situasi saat ini, kita harus tetap waspada dan skeptis untuk mengecek fakta yang kita terima. Dalam membaca berita kita harus selalu:
- Pertimbangkan sumbernya
- Selalu waspada terhadap temuan/laporan ilmiah
- Pikirkan akibat sebelum membagikan sesuatu
Kita juga harus faham walalupun sumber berita adalah orang yang berkewenangan, ada kemungkinan kesalahan pengucapan atau redaksional yang disebabkan oleh kelelahan, kecerobohan, ketidakfahaman, atau memang ketidaktahuan karena narasumber,pengutip dan editor mungkin bukan pakar di bidang itu.
KawalCOVID19 memiliki halaman berjudul “Periksa Fakta” yang didedikasikan untuk menangkal disinformasi, bekerja sama dengan Masyarakat Anti Fitnah dan Hoax Indonesia (Mafindo). Informasi dari halaman “Periksa Fakta” juga disampaikan lewat WhatsApp. Hubungkan nomor anda untuk memperoleh informasi seputar COVID-19, termasuk cek fakta dari informasi yang beredar di internet. Anda bisa memasukkan kata kunci, seperti “inkubasi” atau “mudik” untuk mendapatkan informasi yang akurat.