Seri Penyintas COVID-19: Dari Kehilangan Kerabat Hingga Donor Plasma Darah
Belum usai berduka setelah kerabatnya meninggal dunia akibat COVID-19, penulis terkonfirmasi positif. Dengan kesabaran selama perawatan di ruang isolasi RS, ia pun sembuh dan telah mendonorkan plasma darah untuk membantu pasien COVID-19 lain dengan kondisi kritis.
Penulis: Annisa Ghaisani
Kisahku berawal pada akhir Maret ketika seorang kerabat yang tinggal seorang diri di rumahnya mengeluh sakit selama hampir seminggu. Karena beliau sangat dekat dengan keluargaku, kami menjemput beliau untuk merawatnya di rumah. Selama enam hari, kami rutin memeriksakan beliau ke klinik dan rumah sakit. Saat itu beliau demam cukup tinggi, lemas, dan hilang nafsu makan. Setelah melalui berbagai pemeriksaan, dokter mengizinkannya rawat jalan di rumah dan membekali obat-obatan. Namun, kondisinya memburuk dari hari ke hari. Makan pun tidak mau karena lidah terasa pahit. Akhirnya kami membawa beliau ke Poli Penyakit Dalam salah satu RS swasta di Jakarta Timur. Menurut dokter internist, beliau sudah harus menjalani rawat inap. Siang itu, beliau masuk ke ruang perawatan. Aku juga turut mengantarnya meski badanku mulai terasa tidak enak dan kepalaku pusing.
Malam itu, tanggal 27 Maret, aku mulai menggigil. Saat diukur, suhu tubuhku 39.3oC. Tenggorokanku sakit, setelah sebelumnya batuk-batuk. Aku pun meminum obat penurun demam dan kembali tidur. Keesokan harinya, suhu tubuhku justru naik menjadi 39.7oC. Aku memutuskan untuk pergi ke dokter. Di perjalanan menuju klinik, aku mendapatkan kabar bahwa kerabatku yang baru kemarin dirawat di RS meninggal dunia. Hatiku begitu terpukul. Rasanya kepergian beliau sangat cepat. Hatiku semakin terpukul saat mengetahui hasil pemeriksaan rontgen thorax beliau mengarah ke pneumonia dan suspek COVID-19.
Saat itu, perasaanku campur aduk. Aku mulai khawatir dengan kondisiku. Di sisi lain, aku sangat sedih karena tidak bisa mengantarkan almarhumah ke tempat peristirahatan terakhirnya karena harus mematuhi protokol pemakaman COVID-19. Malamnya, aku menghubungi Puskesmas terdekat. Keluargaku dinyatakan sebagai ODP karena sudah berkontak erat dengan pasien suspek selama seminggu. Kami didaftarkan untuk melakukan rapid test, dan mulai malam itu, semua orang di rumah kami menggunakan masker selama 24 jam dan saling menjaga jarak.
Keesokan harinya, aku membaca artikel mengenai gejala anosmia (kehilangan indera penciuman) dan ageusia (kehilangan indera pengecapan) pada 2/3 pasien COVID-19 di Jerman. Aku baru teringat bahwa beberapa hari terakhir, aku tidak bisa mencium bau apa pun dan tidak bisa merasakan apa pun pada lidahku. Sabun yang biasanya sangat wangi sama sekali tidak tercium saat aku tempelkan di depan hidungku. Aku sangat takut dan hanya bisa berdoa agar kondisiku segera membaik dan berharap sakitku bukanlah COVID-19.
Empat hari berjalan, tetapi suhu tubuhku tidak kunjung turun, berkisar antara 38-39oC. Untungnya, selama 4 hari tersebut, kondisiku terus dipantau oleh sepupuku yang berprofesi sebagai dokter. Namun, hari itu aku sudah tidak tahan lagi dengan kondisi tubuhku. Aku dibawa ke IGD COVID-19 RS Kramat 128. Pemeriksaan lab darahku menunjukkan penurunan trombosit, dan pemeriksaan NS-1 hasilnya positif sehingga dokter mendiagnosis aku terkena Demam Berdarah (DBD). Namun, dokter berkata bahwa penyakit DBD yang kuderita bisa juga disertai dengan COVID-19 sehingga aku harus menjalani pemeriksaan rapid test dan swab test, serta dirawat di ruang isolasi. Statusku naik menjadi PDP. Aku pun menjalani swab test pertama pada 1 April dan swab test kedua pada 3 April.
Pemeriksaan rapid test menunjukkan hasil “reaktif”
Di RS, aku diberikan obat-obatan baik melalui infus maupun obat minum. Dokter penanggungjawabku setiap hari melakukan visite untuk memantau kondisiku. Begitu juga dengan para perawat yang tak kenal lelah. Aku sangat bersyukur bisa dirawat oleh mereka. Walaupun menggunakan APD level 3, mereka tidak pernah menunjukkan kelelahan kepada pasien dan terus menyemangati kami.
Pada hari keenam aku dirawat di ruang isolasi, kondisiku membaik. Trombositku naik dalam dua kali pemeriksaan darah. Akhirnya dokter memperbolehkan aku pulang dengan syarat aku harus menjalani isolasi mandiri sambil menunggu hasil swab keluar. Seminggu kemudian (11 April), aku melakukan kontrol ke dokter. Hari itu hasil swab pertamaku keluar dan hasilnya aku terkonfirmasi positif COVID-19.
Swab test pertama hasilnya positif
Aku tidak terkejut karena sudah menduganya. Dokter menginstruksikan agar aku segera melakukan swab test kembali karena hari itu sudah terhitung 14 hari sejak gejala pertamaku muncul. Namun, swab test di RS saat itu jumlahnya sangat terbatas, hanya cukup untuk pasien PDP yang sedang dirawat. Akhirnya aku menjalani swab test ketiga di RSPAD Gatot Soebroto. Hasil swab test ketigaku keluar dua hari kemudian, dan Alhamdulillah hasilnya negatif. Pada hari yang sama, hasil swab test keduaku keluar, dan ternyata hasilnya juga negatif. Karena sudah mendapatkan dua kali hasil negatif, per tanggal 15 April, aku dinyatakan sembuh dari COVID-19.
Hasil swab test kedua
Hasil swab test ketiga
Sekitar dua minggu setelah sembuh, aku mendengar berita tentang Terapi Plasma Konvalesen (TPK) untuk pasien COVID-19 di Indonesia. Terapi ini dilakukan dengan cara memberikan plasma dari penyintas COVID-19 (yang sudah sembuh) kepada pasien yang menderita COVID-19 dengan kondisi berat/kritis (baca kisah penerima donor plasma di sini). TPK sudah dilakukan di banyak negara, seperti Amerika, Inggris, Tiongkok, Prancis, dan India. Di Indonesia, RSPAD Gatot Soebroto adalah rumah sakit pertama yang melaksanakan terapi ini.
Aku sempat takut karena belum pernah mendonorkan darah sebelumnya. Namun, begitu mendengar berita tersebut, tanpa ragu aku langsung menghubungi Unit Transfusi Darah (UTD) RSPAD Gatot Soebroto. Saat itu, yang aku pikirkan hanyalah bagaimana aku bisa membantu agar pandemi ini usai dan agar orang lain tidak mengalami kehilangan anggota keluarga sepertiku. Aku dijadwalkan untuk melakukan pemeriksaan dan donor plasma tanggal 4 Mei. Pemeriksaan menunjukkan hasil yang baik, dan aku mendonorkan plasmaku hari itu juga sebanyak 600ml, yang bisa diberikan untuk dua pasien COVID-19 kritis nantinya.
Donor plasma pertama pada tanggal 4 Mei
Ternyata donor plasma tidak sengeri itu. Donor plasma berlangsung selama 30-60 menit, hanya dengan duduk nyaman sambil menunggu prosesnya selesai. Melalui mesin plasmaferesis, darah yang keluar dari tubuh kita diproses untuk mendapatkan plasmanya saja. Komponen darah lainnya lalu dapat dikembalikan lagi ke pembuluh darah kita. Aku adalah pendonor ke-14 sejak donor pertama oleh pasien COVID-19 pertama di Indonesia dan juga pendonor plasma AB pertama. Dokter berkata donor plasma dapat dilakukan setiap 14 hari. Jika ada pasien yang membutuhkan dan stok plasma sudah habis, dokter akan menghubungiku.
Donor plasma kedua dan ketiga (21 Mei dan 30 Juni)
Piagam penghargaan sebagai pendonor plasma
Saat ini, donor plasma dapat dilakukan di RSPAD Gatot Soebroto (Jakarta), RSCM (Jakarta), RSUD Dr Soetomo (Surabaya), RSUP Dr Kariadi (Semarang), RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo (Makassar), RS Universitas Udayana (Bali), RSUD Dr Moewardi (Solo), RSUD Saiful Anwar (Malang), dan RSUP Dr. Hasan Sadikin (Bandung). Dari data yang disebutkan oleh dokter di RSPAD, per tanggal 29 Juni, baru sekitar 40 penyintas yang mendonorkan plasmanya. Padahal di Jakarta, saat itu ada 5.865 pasien COVID-19 yang sudah sembuh.
Dengan menuliskan pengalaman ini, aku berharap penyintas lain yang jumlahnya sudah lebih dari 60.000 bisa turut mendonorkan plasma. Teruntuk pasien COVID-19 yang masih berjuang, teruslah bersemangat untuk sembuh. Akhir kata, aku berharap seluruh masyarakat turut andil dalam memerangi virus ini, yaitu dengan disiplin melakukan 3M (Memakai masker, Mencuci tangan dengan sabun, dan Menjaga jarak) serta menghindari 3K (Kontak erat dengan orang lain, Kerumunan, dan Kamar/ruang tertutup). Melawan COVID-19 adalah perjuangan bersama. Mari bahu-membahu.