Seri Penyintas COVID-19: Virus Tidak Kenal Profesi dan Usia
Seorang dokter di usia produktif di Bali terpapar COVID-19 dengan kondisi kritis. Kisahnya menyadarkan bahwa seseorang yang tahu betul soal dunia medis dan berusia relatif muda tidak serta merta kebal dari virus.
Penulis: dr. Bagus Usiana (dokter di klinik kecantikan di Denpasar, Bali)
Bayangkan jika kamu adalah tulang punggung keluarga yang memenuhi biaya hidup kedua orang tua yang sudah sepuh serta saudara bontot yang masih bersekolah, lalu tiba-tiba kamu sakit berat dan tidak bisa bekerja. Inilah yang terjadi padaku selama 30 Juni – 16 Juli 2020 lalu setelah terpapar COVID-19. Bukannya mencari nafkah, selama dua minggu lebih aku terbaring di ruang ICU, dikelilingi peralatan medis yang menunjang proses kesembuhanku. Sampai detik ini, aku masih tidak percaya bahwa aku mendapat cobaan seberat ini.
Semenjak pengumuman dua kasus pertama di awal Maret tahun ini, media elektronik dan cetak serta kanal media sosial tak henti-hentinya mengalirkan informasi terbaru mengenai COVID-19. Sama seperti penduduk Indonesia lainnya, aku senantiasa berdoa agar terhindar dari virus tersebut. Terpapar COVID-19 adalah mimpi buruk bagi semua orang, tapi justru inilah yang terjadi dalam kenyataan hidupku.
dr. Bagus Usiana saat dirawat di ICU (sumber foto: dokumentasi pribadi penulis)
Mungkin banyak orang terheran-heran. Bagaimana bisa aku, yang seorang dokter dan sangat tahu dunia medis, terpapar COVID-19? Biar kuberitahu: Virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan COVID-19 tidak pandang jenis profesi, jenis kelamin, usia, ataupun latar belakang ekonomi. Nakes sekalipun tidak akan kebal terhadap penyakit ini jika terpapar.
Aku sendiri tidak yakin terpapar dari mana dan kapan. Setiap kali praktek, aku selalu mengenakan APD. Aku memang sempat pulang kampung untuk menghadiri pernikahan sepupu tapi tetap memakai masker dan menjaga jarak, bahkan dari keluargaku sendiri. Selain itu, selama seminggu tersebut, aku berolahraga di gym. Walau saat berolahraga tidak mengenakan masker, aku berusaha menjaga jarak. Hingga kemudian, aku mengalami demam tinggi, selalu di atas 38°C dan tertinggi 39.8°C.
Semenjak virus itu bersarang di tubuhku, daya tahan tubuhku menurun drastis. Aku harus menggunakan alat bantu bahkan hanya untuk bernapas. Paru-paruku rusak dalam hitungan hari, sama rusaknya dengan paru-paru milik perokok aktif. Belum lagi, secara psikologis, pikiranku menggurita ke mana-mana karena aku jadi tidak bisa bekerja dan membiayai keluargaku. Di ICU, aku tidak bisa tenang beristirahat karena terbayang berbagai tagihan dan cicilan yang harus ditunaikan. Meski orang-orang terdekat tidak bisa mendampingiku di ruang ICU, beruntung aku boleh membawa HP sehingga bisa menelepon teman-temanku, menonton beberapa channel di YouTube, dan melihat feed Instagram dan Facebook.
Hasil rontgen paru-paru dr. Bagus Usiana (sumber foto: dokumentasi pribadi penulis)
Tindakan tak terduga diambil oleh sahabat dan keluargaku. Awalnya, tanpa sepengetahuanku, sahabat dan perwakilan keluargaku mencari opsi alternatif yang dapat membantu kesembuhanku. Bersama dokter yang merawatku, mereka bersekongkol untuk melakukan operasi senyap untuk mendapatkan plasma darah. Untuk memperolehnya, mereka harus terbang langsung ke RSPAD Jakarta dengan membawa sampel darahku. Rencana tersebut terbongkar setelah mengetahui bahwa sahabatku dari kecil akan jauh-jauh ke Jakarta demi misi tersebut. Begitu tahu rencana mereka, perasaanku campur aduk. Kepalaku dipenuhi oleh kalimat-kalimat what-ifs.
Dokter yang merawatku menerangkan cara kerja plasma darah untuk menyokong pemulihanku. Ini disebut Therapy Convalesent, yakni darah penyintas COVID-19 (pasien yang sudah sembuh) diekstrak sedemikian rupa lalu disuntikkan ke dalam tubuh pasien yang sedang menjalani perawatan. Kenapa menggunakan darah penyintas? Karena di dalamnya terkandung sistem imun yang kuat sehingga plasma berfungsi sebagai doping tambahan untuk pasien kritis seperti aku. Namun, kesembuhan seorang pasien dipengaruhi berbagai faktor, dan plasma darah hanya satu dari sekian banyak terapi.
Setelah therapy plasma itu masuk ke dalam tubuhku, aku merasakan kemajuan dalam penyembuhan. Perubahan yang paling terasa adalah nafsu makan yang membaik. Kinerja dada juga berangsur membaik sehingga alat bantu napas bisa ditanggalkan. Aku sempat mengobrol dengan dokter yang merawatku secara intensif di ICU. Menurut beliau, aku termasuk beruntung karena:
1. Dokter menunda pemasangan intubasi saat aku berada dalam masa kritis. Seharusnya, pada hari kedua di ICU, intubasi sudah dipasang tetapi beliau mengusahakan agar aku bertahan dengan alat non-invasive flow. Pilihan ini diambil salah satunya karena saat masuk ICU, aku masih bisa bernapas spontan
2. Berbagai permintaan dari tim dokter terkait obat-obatan dan tindakan yang dibutuhkan dapat dipenuhi oleh pihak rumah sakit (untuk Bali, saat ini hanya dapat disediakan oleh ICU RSPTN Universitas Udayana) dan juga atas bantuan Dinas Kesehatan setempat
3. Pasien yang kondisinya mirip denganku belum bisa pulang, sedangkan aku, per 16 Juli 2020 sudah bisa merasakan nyamannya tidur di kasur sendiri di rumah
Tim medis yang merawat dr. Bagus Usiana (sumber foto: dokumentasi pribadi penulis)
Pengalaman ini aku tulis bukan untuk menakut-nakuti. Justru aku mengajak pembaca untuk berpikir lebih terbuka tentang bahaya COVID-19. Aku harap, untuk kalian yang sempat mengatakan bahwa COVID-19 itu hoax, semoga kalian tersadarkan bahwa nakes dan orang muda sekalipun bisa mengalami kondisi kritis. Ancaman bahaya yang bersifat ‘gaib’ ini bisa menyerang siapa saja, kapan saja, and di mana saja.
Kita yang masih sehat sangat bisa berkontribusi untuk meringankan beban tenaga kesehatan yang sudah kewalahan menghadapi kasus yang muncul saat ini karena virus SARS-CoV-2. Caranya adalah dengan mematuhi protokol kesehatan, seperti mengenakan masker dengan benar, kalau perlu tambahkan dengan face shield, cuci tangan dengan benar untuk membunuh virus, dan jaga jarak minimal 1,5 meter dari orang lain.
Terima kasih yang utama tentu aku panjatkan atas perpanjangan Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena aku bisa sembuh dan pulih dari waktu ke waktu. Aku juga berterima kasih atas bantuan dan perhatian yang terus mengalir dari sahabat dan keluarga. Tentu saja, kesembuhanku juga berkat kerja keras tim medis RSPTN Universitas Udayana yang merawatku sepenuh hati.