Lanjut ke konten

Seri Penyintas COVID-19: Anak Kami Tertular COVID-19 di Sekolah – bagian 2

Kondisi COVID-19 di UK saat ini, walaupun lockdown diberlakukan namun sekolah tetap dibuka. Dan tanpa kewajiban menggunakan masker bagi siswa dan guru

Kawal COVID-19's Avatar
Kawal COVID-19Tim administrator situs KawalCOVID19.id

Catatan Redaksi: UniR (12 tahun), begitu kami di KawalCovid19 memanggilnya, adalah putri sahabat kami yang bermukim di Inggris dan sudah lama aktif di berbagai gerakan akar rumput. Beberapa waktu lalu kami mendapat kabar bahwa UniR positif COVID-19, tertular di sekolah sehingga sekeluarga harus menjalani isolasi mandiri. 

Jumlah kasus harian di Inggris pada second wave kedua pada bulan November naik lima (5) kali lipat dibanding gelombang pertama pada bulan April lalu. Rata-rata harian mencapai 25 ribu kasus dibanding 5 ribu. Sejak penerapan lockdown kembali, jumlah kasus rata-rata harian berhasil ditekan, yang per hari ini (27 November) turun ke 17 ribu kasus. 

Uniknya, jumlah kematian justru terbalik. Saat ini, rata-rata jumlah kematian harian 400 kasus dibanding 950 kasus pada first wave; atau turun dua kali lipat.

Seperti analisis sebelumnya, penyebaran tercepat terjadi pada usia anak sekolah yang sejak bulan September sudah mulai belajar tatap muka, walau dalam kondisi lockdown. Anak-anak ini mungkin tak terlihat sakit, namun mereka menjadi spreader ke komunitas kecil mereka. 

Karena lockdown pertama, pemerintah Inggris sempat bisa bernafas mempersiapkan segala sesuatu sehingga saat ini kasus turun drastis. Secara kolektif, pemerintah beserta jajaran sudah siap dengan kondisi saat ini.

Belajar banyak dari first wave, sistem track and trace terbukti efektif untuk melacak dan mengendalikan penyebaran virus. Kualitas pelayanan rumah sakit, nakes, serta fasilitas kesehatan pun terjaga. Dengan begitu, tingkat kematian dapat lebih ditekan.

Tantangan terberat kali ini adalah memasuki musim dingin, sedangkan dalam situasi normal saja virus flu biasa sudah bertebaran ke mana-mana. Anak-anak di rumah pun bergantian mengalami demam. Setiap kali mereka demam, saya selalu meluncur ke tempat tes untuk lakukan swab.

Lalu bagaimana sebenarnya penyebaran virus COVID-19 di Inggris? Berbeda dengan first wave, infeksi mengarah ke wilayah utara yang relatif lebih dingin (lihat gambar 1) dengan matahari yang seperti malu-malu muncul. 

Setelah lepas lockdown pertama, yang bertepatan dengan awal musim panas pada bulan Juli dan Agustus, masyarakat kembali relaks. Bahkan, sangat relaks. Banyak protokol kesehatan yang dilanggar. Masker tak digunakan, kerumunan banyak terjadi. Maklum, musim panas memang waktu yang paling ditunggu oleh masyarakat negara-negara empat musim. Tak terelakkan, penyebaran virus mulai naik kembali, apalagi kemudian sekolah-sekolah dibuka pada bulan September.

Ada pun Slough, kota tempat tinggal saya, sebetulnya berada di wilayah selatan dengan tingkat penyebaran yang relatif lebih rendah. Slough berbatasan dengan Greater London sebelah barat dan termasuk dalam wilayah county (semacam provinsi) Berkshire. Warna merah secuil di tengah lautan warna kuning pada gambar adalah lokasi yang menunjukkan kelompok infection rate tertinggi (merah tier-3, kuning tier-2). Rata-rata terdapat 324 kasus harian per 100 ribu populasi, lebih tinggi dari daerah sekitarnya, termasuk London dengan 155 kasus per 100 ribu. Test positivity juga tinggi, sekitar 12%.

Gambar 1

Lalu mengapa kota di sekitar justru lebih kecil jumlah kasusnya? (Lihat gambar 2)

Gambar 2

Secara demografi, Slough sangat berbeda dengan daerah tetangganya. Proporsi keluarga lintas generasi di kota kami lebih tinggi, dengan kakek, nenek, ayah, ibu, dan anak-anak tinggal dalam satu rumah. Mereka lah yang teridentifikasi sebagai salah satu faktor risiko penyebaran COVID-19.

Sebagian besar kasus yang terjadi di Slough teridentifikasi karena penyebaran dalam keluarga. Slough adalah daerah kedua terbesar di Inggris dalam hal jumlah orang dalam tiap keluarga (survey tahun 2011). Selain itu, Slough banyak didominasi oleh orang-orang muda, 24,9 % berusia antara 15-34 tahun. 

Pesan saya, jika sekolah akan tatap muka di Indonesia, pastikan menerapkan protokol kesehatan 3M tanpa terkecuali. Jangan lupa menerapkan konsep bubble agar penyebaran virus bisa dikendalikan. Jika hal tersebut diyakini sulit dilakukan, sebaiknya siap dengan segala konsekuensi bukan ke anak-anak saja, tetapi  orang-orang di rumah yang lebih lemah, seperti kakek, nenek, atau kerabat dengan komorbid.  

Artikel Terkait:
Seri Penyintas COVID-19: Anak Kami Tertular COVID-19 di Sekolah – bagian 1