Satu Tahun Evakuasi dari Wuhan
Genap satu tahun penulis dipulangkan dari Wuhan bersama WNI lainnya. Penulis menceritakan kilas balik evakuasi mereka dari Wuhan, Tiongkok. Satu tahun berselang, Wuhan sebagai episentrum pertama COVID-19 telah kembali normal, sedangkan Indonesia masih berjuang untuk mengatasi pandemi ini. Ia mengajak Indonesia untuk menyontoh kegigihan Wuhan bersusah-susah dahulu agar kita bisa lebih cepat keluar dari pandemi.
Oleh: Hilyatu Millati Rusdiyah
Setelah merasakan 10 hari lockdown di Wuhan, akhirnya kami dievakuasi dari Wuhan oleh Pemerintah RI saat kasus Covid-19 semakin meningkat hari demi hari. Wuhan di-lockdown pada 23 Januari 2020 saat kasus positifnya mencapai 442 kasus dengan 8 kasus kematian.
Pada hari itu, satu tahun lalu, saya sempat menemui kesulitan untuk mencapai titik penjemputan di kampus HUST. Bus evakuasi tidak dapat menjangkau komplek apartemen saya karena tidak mendapat ijin. Sedangkan transportasi umum sepenuhnya berhenti, termasuk taxi by demand yang sebelumnya masih diizinkan untuk beroperasi.
Setelah berkomunikasi dengan Tim KBRI, akhirnya saya memutuskan naik motor listrik menuju titik penjemputan berbekal surat keterangan dari KBRI. Di perjalanan, saya menyaksikan langsung betapa sepinya Wuhan, seperti kota yang ditinggal oleh penghuninya. Hanya petugas kebersihan yang terlihat di jalan menyemprotkan disinfektan dan membersihkan sampah-sampah yang berserakan.
Bus evakuasi tiba sekitar pukul 10.00, untuk kemudian pergi ke 3 kampus yang berbeda untuk menjemput para WNI. Kami sempat melewati beberapa Rumah Sakit besar di perjalanan menuju Bandara. Rumah sakit tersebut terlihat normal tanpa keramaian yang berarti.
Sekitar pukul 12.00 kami sampai di bandara, namun belum diizinkan masuk oleh petugas. Siang itu bandara sangat sepi, hanya rombongan kami yang meramaikan. Sebelum masuk ke dalam bandara kami harus melalui dua kali pemeriksaan suhu badan. Bila suhu badan di atas 37 derajat, kami tidak diperkenankan masuk.
Sesampainya di bandara, kami harus menunggu rombongan dari kota lain yang baru akan tiba menjelang maghrib. Sore itu bandara mulai ramai, karena rombongan evakuasi dari Negara lain mulai berdatangan seperti, WN Perancis, Arab Saudi, Myanmar, dan India.
Sambil menunggu check in, kami mengisi formulir kesediaan untuk dikarantina selama 14 hari di Natuna. Saat itulah, kami baru mengetahui bahwa kami akan dibawa ke Pulau Natuna untuk karantina, karena sebelumnya kami tidak mengetahui detail proses evakuasi yang akan kami lalui.
Pesawat Batik yang akan membawa kami pulang tiba di Wuhan sekitar pukul 19.15. Namun, kami baru diperbolehkan boarding menjelang dini hari. Saat boarding, masing-masing dari kami diharuskan mengisi formulir kesehatan, termasuk riwayat kesehatan 14 hari sebelumnya. Bila didapati gejala panas, batuk, dan pilek, maka kami tidak diizinkan untuk boarding.
Pukul 04.00 pagi, kami mulai mengantri untuk masuk pesawat. Saat mengantri di garbarata, Pilot menyambut kami dengan selembar kertas yang bertuliskan “Ayo muleh, Rek!” Itulah momen yang akan selalu kami kenang dalam proses evakuasi.
Sebelum menuju Natuna, kami transit terlebih dahulu di Batam untuk berganti pesawat. Saat keluar dari pesawat Batik, masing-masing kami disemprot disinfektan. Pesawat TNI yang membawa kami menuju Natuna dilapisi plastik di seluruh permukaan lantai dan tempat duduknya. Kami merasa seperti alien yang baru datang dari luar angkasa.
Sesampainya di Natuna, kami baru menyadari adanya penolakan dari warga sekitar. Hingga Pemerintah harus menurunkan 1000 personil gabungan TNI dan POLRI untuk berjaga di sekitar komplek karantina. Sedih kami rasakan, ditolak di negeri sendiri dan dianggap membahayakan.
14 hari karantina di Natuna, bosan kadang melanda. Manusiawi, karena kami hanya boleh keluar sekitar hanggar. Melihat pesawat landing dan take off adalah hiburan kami setiap hari. Sambil berharap, pesawat yang menjemput kami pulang segera datang.
Setelah menyelesaikan karantina 14 hari di Natuna, kami diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing. Terkadang kami mendapati stigma negative karena pulang dari Wuhan. Namun kami menyadari itulah konsekuensi yang harus kami terima, meskipun itu tidak mudah.
Sejak Juli 2020, kegiatan pendidikan di Wuhan telah kembali normal. Mahasiswa lokal telah diperbolehkan kembali ke kampus. Namun masih menerapkan close off management. Orang luar dilarang masuk kampus. Mahasiswa hanya seminggu sekali boleh keluar kampus.
Hingga kini, kami tetap mengikuti perkuliahan secara online dengan keterbatasan jaringan internet yang ada. Kadang nyambung kadang mati. Banyak materi yang terlewatkan. Beruntungnya dosen-dosen di sana sangat memaklumi.
Pemerintah China masih belum memperbolehkan mahasiswa asing di luar China untuk kembali. Sejak awal pandemi hingga saat ini, Pemerintah China alih-alih melonggarkan tindakan preventif, malah justru memperketat. Jika dulu masuk antar kota antar provinsi hanya cukup tes PCR, kini harus disertai karantina 14 hari dari daerah resiko rendah dan sedang, dan karantina 21 hari dari daerah resiko tinggi.
Melihat Wuhan yang kembali normal, manusiawi kami ingin segera kembali kesana. Wuhan yang dulu ditakuti, kini justru diminati. Pada libur National Day tahun lalu, Wuhan adalah destinasi favorit turis lokal China selama liburan. Jika dulu semua orang yang keluar dari Wuhan harus dikarantina 14 hari, kini justru orang yang ingin memasuki Wuhan harus dikarantina 14 hari.