Lanjut ke konten

Waspadai Kekerasan Dalam Rumah Tangga saat Isolasi Mandiri

Himbauan #DiRumahAja membawa permasalahan tersendiri bagi mereka yang terlibat dalam hubungan tidak sehat (toxic relationship) di rumah. Jika Anda salah satunya, simak tips untuk mengendalikan situasi dan menyelamatkan diri.

Kawal COVID-19's Avatar
Kawal COVID-19Tim administrator situs KawalCOVID19.id

Penulis: Dyah Ayu Kartika (Peneliti isu gender dengan latar belakang psikologi dan studi pembangunan. Menjadi petugas unit Pengajuan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan tahun 2014-2015.)

Bagaimana kabar Anda di minggu keempat #DiRumahAja?

Suntuk, cemas, dan takut tentu mendominasi perasaan Anda selama beberapa minggu ke belakang, dan ini sangat wajar dalam kondisi serba tidak menentu sekarang ini. Banyak orang yang mencari kenyamanan dan ketenangan dengan berada dekat dengan keluarga. Sayangnya, ini tidak berlaku untuk semua orang: Berada di rumah justru membuat sebagian orang rentan mengalami tekanan psikologis bahkan fisik karena terjebak dalam hubungan yang tidak sehat (toxic relationship) dengan pasangan, orang tua, maupun anggota keluarga lainnya.

Di beberapa negara, sudah tercatat adanya peningkatan laporan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sejak himbauan karantina mandiri dilakukan oleh pemerintah. Provinsi Hubei di Tiongkok melaporkan peningkatan kasus tiga kali lipat selama Februari 2020. Sementara itu, kenaikan angka kekerasan domestik juga terjadi di Brazil sebesar 40-50%, Siprus sebesar 30%, dan Catalonia sebesar 20%. Di Indonesia, kasus KDRT tidak lebih baik angkanya. Berdasarkan data Komnas Perempuan, sekitar 75% atau sebanyak 11.105 kasus kekerasan terhadap perempuan yang tercatat sepanjang 2019 dilakukan oleh orang-orang terdekat, seperti pasangan atau anggota keluarga lainnya. KDRT memang merupakan bentuk hubungan tidak sehat yang ekstrim dan angka yang tercatat di Indonesia saat ini hanya kekerasan yang terjadi pada perempuan. Padahal, banyak bentuk hubungan tidak sehat lain yang terjadi sehari-hari, baik pada laki-laki maupun perempuan. 

Apakah saya mengalaminya?

Menurut psikolog Dr. Lilian Glass, hubungan yang tidak sehat ditandai dengan kurangnya dukungan pada pasangan atau anggota keluarga untuk berkembang, kurang menghargai satu sama lain, kecenderungan untuk menyepelekan perasaan pihak lain terutama ketika terjadi perselisihan, tidak mau mengalah, dan hubungan yang kurang erat dalam keluarga karena kurangnya empati. Hubungan tidak sehat pada anak dan orangtua memiliki dampak jangka panjang pada perkembangan anak. Apalagi hubungan ini terikat darah dan tidak bisa diakhiri begitu saja seperti hubungan dengan pasangan.

Memang, perasaan-perasaan ini sering muncul ketika kita sedang bertengkar dengan pasangan atau anggota keluarga tetapi orang yang terjebak dalam hubungan tidak sehat mengalami hal ini lebih sering dalam hidupnya, bahkan tidak sebanding dengan momen-momen bahagia ketika bersama pasangan atau keluarga. Dalam kondisi ini, orang yang terjebak dalam hubungan tidak sehat akan mengalami kecemasan, ketakutan, dan ketidaknyaman terus menerus, gangguan makan, gangguan tidur, bahkan depresi terutama saat pasangan atau anggota keluarga tersebut berada di sekitarnya. Hubungan seperti ini sangat melelahkan karena banyak menghabiskan energi mental dan berpengaruh pada imunitas tubuh.  

Dalam situasi pandemi ini, pelaku toxic relationship tidak bersikap lebih kooperatif. Pelaku justru menggunakan kesempatan ini untuk semakin mengontrol dan membebani kesehatan mental orang terdekatnya. Sama seperti kebanyakan orang, mereka juga merasakan kecemasan dan perasaan negatif lainnya yang membuat perilaku mereka semakin sulit untuk dihadapi. Mereka menjadi lebih mudah marah atau tersinggung, lebih sering mengucapkan kata kasar, memojokkan, dan merasa permasalahan dirinya lebih besar dari orang lain. 

Apa yang bisa dilakukan?

Berikut adalah beberapa tips yang bisa Anda lakukan jika terjebak dalam kondisi seperti ini:

  1. Utamakan kesehatan mental diri sendiri (self-care) dengan melakukan hal yang Anda suka, seperti menonton film, membaca buku, mewarnai, menyusun puzzle, dan lain-lain. Hindari topik-topik yang selama ini menimbulkan perdebatan dengan orang tersebut. 
  2. Hindari topik-topik pembicaraan yang menimbulkan perdebatan dengan orang tersebut. 
  3. Gunakan himbauan jaga jarak fisik (physical distancing) sebagai alasan untuk berada di ruangan yang berbeda dengan orang toxic tersebut. Bagi yang tidak bisa menjauhkan diri, minimalisasi kontak dengan menyibukkan diri Anda dengan pekerjaan lain. Anda bisa mengalihkan perhatian sejenak dan membuat diri produktif. 
  4. Abaikan ocehan mereka. Jika pasangan atau anggota keluarga Anda mulai menyalahkan, memojokkan, atau menggunakan kata-kata kasar ketika berkomunikasi dengan Anda, ingatlah bahwa itu tidak mencerminkan Anda yang sesungguhnya. Mereka hanya ingin melampiaskan kekhawatiran dan kekesalan mereka ke orang lain. Jadi, jangan ambil hati setiap perkataan mereka. 
  5. Tetap berkomunikasi dengan teman, sahabat, dan anggota keluarga lain yang bisa dipercaya. Mengetahui kabar orang-orang terdekat dan curhat bisa menjadi salah satu cara untuk meringankan beban pikiran semasa jaga jarak ini. 
  6. Mencari kelompok pendukung (peer-support). Ketika berada dalam situasi seperti ini, sangat penting untuk menyadari ada orang lain yang juga bernasib sama dengan Anda. Jika Anda tidak mau menceritakan masalah rumah tangga ke orang terdekat atau khawatir keluh kesah Anda akan membebani orang lain, Anda bisa coba bergabung ke kelompok pendukung online seperti YouAreUs.id dan Pentas Indonesia. YouAreUs.id merupakan layanan di aplikasi WhatsApp untuk laki-laki maupun perempuan yang terjebak dalam berbagai permasalahan, termasuk hubungan yang tidak sehat, untuk saling bercerita dan mendapat penguatan satu sama lain. Sementara itu, Pentas Indonesia merupakan kelompok pendukung perempuan di aplikasi Telegram. Layanan ini dilakukan secara anonim sehingga data pribadi Anda akan tetap terjaga. 
  7. Konsultasi online dengan psikolog. Semasa pandemi ini, banyak psikolog yang menyediakan layanan konseling online secara gratis. Gunakan kesempatan ini untuk mencari bantuan sesuai dengan kondisi Anda. Untuk kompilasi layanan psikolog online, bisa diakses di sini
  8. Laporkan ke pihak berwajib. Jika pasangan atau anggota keluarga sampai melakukan kekerasan, baik fisik, psikologis, seksual maupun ekonomi. Anda bisa melaporkannya ke pihak berwajib, seperti Komnas Perempuan melalui form ini, menghubungi P2TP2A sesuai KTP Anda, atau Kepolisian sesuai yang diatur dalam UU PKDRT ini. 

Semoga tips-tips ini berguna dan bisa meringankan beban Anda selama masa kerja di rumah. Tetap sehat raga, sehat jiwa, dan tetap semangat!