Lanjut ke konten

Rendahnya Pelacakan Kontak dan Tingginya Tingkat Positivitas Tes: Latar Belakang dan Prospek PSBB II DKI Jakarta

Kami menjabarkan tiga tren penting yang menjelaskan lonjakan kasus di DKI Jakarta, yakni (1) memburuknya pelacakan, (2) meningkatnya tingkat positivitas tes meskipun jumlah tesnya bertambah dan (3) inefisiensi tes mandiri. Rekomendasi kami bagi Pemprov DKI agar PSBB kedua berhasil mengendalikan wabah: 1) tingkatkan rasio lacak isolasi hingga 30 kontak erat per 1 kasus baru, 2) pekerjakan tim pelacak kontak khusus, 3) lampaui protokol revisi ke-5 dan haruskan semua kontak erat dites usap meskipun tidak bergejala ketika dikarantina di fasilitas terpusat, 4) kurangi tes mandiri yang tidak perlu dan 5) pertimbangkan pendekatan “stick and carrot”.

Kawal COVID-19's Avatar
Kawal COVID-19Tim administrator situs KawalCOVID19.id

Penulis: Satrio Wicaksono, Ronald Bessie

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, menerapkan PSBB kedua sejak 14 September 2020. Keputusan ini diambil akibat naiknya kasus positif COVID-19 harian dan angka kematian di DKI (Diagram 1) dan meningkatnya kapasitas tempat tidur terpakai (Bed Occupancy Ratio/BOR) di rumah sakit rujukan COVID-19. Hal-hal ini tentu memberikan tekanan yang makin berat pada nakes dan faskes.

Chart
Diagram 1. Kasus Baru dan Kematian DKI Jakarta (angka rerata 7 hari) selama 1 Juni-11 Sept 2020

Lonjakan kasus di atas sebetulnya sudah kami diprediksi setelah mengamati tiga tren penting terkait pelacakan, tingkat positivitas tes, dan tes mandiri yang muncul semenjak akhir Juli/awal Agustus, terutama setelah Kementerian Kesehatan memberlakukan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 Revisi ke-5.  

Tiga Tren Penting di DKI Jakarta

Pertama, pelacakan di DKI Jakarta memburuk, yang ditandai oleh penurunan RLI. Dalam Serial Data Virus Korona 2, KawalCOVID-19 memperkenalkan konsep Rasio Lacak Isolasi (RLI) dan menyarankan pelacakan setidaknya 25 orang untuk diisolasi untuk setiap penegakan satu kasus suspek/probabel atau terkonfirmasi. WHO sendiri menganjurkan pelacakan antara 10 – 30 orang per satu kasus positif terkonfirmasi.

Chart
Diagram 2. Rasio Lacak Isolasi DKI Jakarta selama 1 Juni-11 September 2020

Sayangnya, RLI di DKI Jakarta terus menurun dari ±4 pada bulan Juni ke lebih kecil dari 2 pada bulan September (Diagram 2). Artinya, untuk tiap satu kasus positif COVID-19, jumlah orang yang diisolasi melalui proses pelacakan kontak kurang dari 2 orang. Ini jauh dari jumlah ideal yang disarankan (10-30) dan sulit dimengerti mengingat mobilitas orang Jakarta pada umumnya. Padahal, kami sudah memperingatkan bahwa rendahnya RLI berkorelasi dengan naiknya jumlah kematian (dan jumlah kasus) kumulatif COVID-19 (Diagram 3).

Diagram 3. Total Kematian Kumulatif Kabupaten/Kotamadya di Indonesia hingga 13 September 2020 vs. RLI pada 13 September 2020

Terlihat dari Diagram 3, dengan RLI kurang dari 2, Jakarta Raya mencatat 200-300 kematian. Kondisi ini memang tidak seburuk Sidoarjo, Semarang, dan Surabaya di sebelah kanan Jakarta Raya yang memiliki RLI terendah per 15 September 2020 tetapi ini merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan situasi pandemi di DKI Jakarta belum terkendali.

Tren kedua adalah naiknya tingkat positivitas tes PCR (perbandingan orang yang dites dengan hasil positif vs. jumlah total orang yang dites) DKI Jakarta, dari sempat menyentuh <5% (salah satu metrik tes WHO) di pertengahan Juni, namun perlahan merangkak menembus >10% sepanjang Juli-Agustus, hingga beberapa hari menembus >20% di akhir Agustus/awal September (Diagram 4). 

Chart
Diagram 4. Positive Rate Harian (biru) dan rerata 7 harian (merah) selama 1 Juni-12 September 2020

Pada umumnya, penambahan jumlah tes akan diiringi dengan peningkatan jumlah kasus harian sekaligus penurunan tingkat positivitas. Namun, tingkat positivitas di DKI meningkat meskipun jumlah tes PCR-nya ditambah, yang bahkan sempat mendekati 8.000 tes per hari (Diagram 5). Temuan ini menandakan tingkat penyebaran yang semakin tidak terkendali di DKI Jakarta. 

Chart
Diagram 5. Jumlah tes harian dan rerata 7 harian selama 1 Juni-12 September 2020

Lantas, di mana akar permasalahannya? Kami melihat korelasi antara tingginya tingkat positivitas tes dengan lemahnya lacak dan isolasi (RLI rendah). Mayoritas tes dilakukan pada orang-orang yang sudah menunjukkan gejala-gejala klinis COVID-19 sehingga sangat mungkin hasilnya positif. Artinya, tes digunakan untuk konfirmasi, bukan untuk mengeluarkan (discard) kontak erat dari daftar pasien-pasien suspek dan probabel yang dikarantina/diisolasi, sebagaimana protokol yang berlaku (Diagram 6).

Diagram 6. Protokol COVID Kemenkes Revisi ke-5

Lemahnya pelacakan dan tingginya tingkat positivitas tes diperparah dengan tren ketiga, yaitu lebih dari separuh tes di DKI dilakukan secara mandiri sehingga kemungkinan berada di luar setting klinis/isolasi. Padahal Pedoman Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 Revisi ke-5 (halaman 47) dengan jelas menginstruksikan bahwa semua kasus suspek dan probabel harus dalam pengawasan (isolasi) dan dites dengan PCR. 

Kesalah-kaprahan Protokol Kemenkes dan Penerapannya

Pembaca mungkin bertanya-tanya, “Bagaimana bisa setelah berbulan-bulan, kok, kondisi pandemi seakan jalan di tempat atau mundur?”. Faktanya adalah di lapangan, terjadi kebocoran akibat tidak rapinya protokol COVID-19 Kemenkes revisi kelima serta kegagapan dalam penerapannya, seperti:

  1. Fasilitas karantina untuk isolasi terpusat bagi penderita tanpa gejala atau bergejala ringan/sedang tidak memadai 
  2. Lemahnya pelacakan sehingga pasien suspek/probabel dan kontak erat mereka yang tidak bergejala kemungkinan tidak diisolasi atau dites usap
  3. Lemahnya penegakan dan pengawasan isolasi mandiri, terutama bagi kontak erat tanpa gejala   

Kami meyakini ketiga aspek ini menyebabkan banyaknya pasien COVID-19 asimptomatik yang seharusnya diisolasi mandiri namun tidak diisolasi dengan benar dan mengakibatkan penularan yang tidak terkendali. Maka, tidak heran jika daerah yang memiliki RLI rendah, seperti DKI Jakarta, Sidoarjo, Surabaya dan Semarang, terjadi lonjakan kasusnya harian.

PSSB Kedua di DKI Jakarta: Jurang Kesalahan yang Sama?

Menurut hemat kami, penerapan PSBB kedua sangat rentan jatuh ke lubang kesalahan yang sama dengan PSBB sebelumnya. Mengapa? 

Pertama, metrik keberhasilan PSBB kali ini tidak ditentukan secara gamblang. Apakah sasarannya penurunan kasus per hari? Sampai ke angka berapa? Bila ini tujuannya, PSBB yang tidak seketat PSBB pertama tidak akan banyak berpengaruh apabila RLI dan tingkat positivitas tes tidak diperbaiki. Larangan karantina/isolasi mandiri yang baru dikeluarkan juga tidak akan efektif bila penegakan isolasi/karantina kontak erat dari pasien-pasien suspek/probabel tidak diperketat. 

Kedua, apabila target PSBB adalah mengurangi Bed Occupancy Ratio (BOR) ke angka tertentu, wacana mengubah hotel-hotel menjadi fasilitas karantina terpusat non-RS dan menambah kapasitas tempat tidur isolasi dan ICU di RS sudah tepat sasaran. Namun, keterlambatan keluarnya hasil tes PCR dan kesulitan menegakkan isolasi tetap menjadi hambatan utama. Protokol revisi ke-5 juga perlu disesuaikan agar tes PCR bisa dilakukan pada kontak erat tanpa gejala yang akan dikarantina secara terpusat. 

Ketiga, PSBB DKI akan berdampak pada daerah-daerah di sekitarnya. Koordinasi dengan pemerintah provinsi Jawa Barat, terutama Pemkot/Pemkab Debotabek, sangat diperlukan, khususnya untuk membatasi pergerakan warga DKI Jakarta ke daerah-daerah yang tingkat kewaspadaannya lebih baik. Larangan berwisata ke Jabar adalah contoh yang baik. 

Rekomendasi KawalCOVID19 untuk Pemprov DKI Jakarta

1. Tingkatkan RLI

Jadikan peningkatan RLI sebagai metrik keberhasilan dan targetkan setidaknya RLI 10 (WHO menyarankan rasio lacak isolasi antara 10-30). Target ini cukup realistis, mengingat perhitungan RLI yang kami lakukan tidak mempertimbangkan jumlah kontak erat yang ditemukan Satgas DKI Jakarta dikarenakan lemahnya penegakan isolasi mandiri dan pemantauan.

2. Pekerjakan tim khusus pelacak kontak yang fokus melakukan pelacakan kontak erat

Untuk menekan penyebaran wabah, menemukan kontak dekat saja tidak cukup. Pasien asimptomatik yang tidak diisolasi pun bisa menularkan kontak dekat dan mendorong penyebaran wabah. Sayangnya, pelacakan kontak di kota sebesar DKI Jakarta sangat berat bila hanya dibebankan pada Dinas Kesehatan dan Puskesmas atau FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer) setempat. Alhasil, pelacakan kontak akan jadi pekerjaan sambilan dan tidak menjadi prioritas seiring dengan meningkatnya jumlah kasus aktif yang dirawat dan isolasi mandiri (lihat Diagram 7, garis hitam dan abu-abu). 

Sementara itu, di tempat-tempat yang berhasil mengendalikan wabah, pelacakan adalah salah satu kunci keberhasilan. Kota New York, misalnya, menargetkan minimal 30 pelacak kontak untuk tiap 100.000 penduduk yang didedikasikan untuk tugas ini. Dalam estimasi kami, Jakarta perlu setidaknya 3.000 pelacak kontak.

3. Perbaiki Protokol COVID-19 Revisi Ke-5 Halaman 46

Melihat pemakaian masker masyarakat dan faktor demografi pasien COVID-19 di Indonesia yang kebanyakan berusia produktif, tingkat pasien asimptomatik kami prediksi lebih tinggi dari yang diperkirakan sebelumnya. Hal ini akan meningkatkan penularan komunitas yang didorong oleh kasus-kasus asimptomatik bila isolasi mandiri tidak berjalan sebagaimana mestinya. Solusi yang diajukan Gubernur DKI dengan melarang isolasi mandiri dan melakukan karantina terpusat sudah tepat.

Selain itu, semua kontak erat kasus juga harus dikarantina selama 14 hari, dan lebih baik jika ditempatkan di fasilitas isolasi terpusat yang berbeda dengan fasilitas isolasi untuk pasien OTG/ringan. Sayangnya, protokol versi-5 halaman 46 menyatakan bahwa hanya kontak erat yang kemudian muncul gejala yang akan dites usap. Hal ini tidak cukup. Lagi-lagi, karena sebagian besar infeksi di Indonesia akan tanpa gejala (jumlah kasus terkonfirmasi saat ini hanyalah pucuk gunung es dan merepresentasikan segelintir saja dari seluruh infeksi yang sebenarnya), semua kontak erat yang tidak bergejala harus dites usap untuk pencarian kasus dan penelusuran kontak lebih jauh untuk memutus rantai penularan. Protokol revisi ke-5 halaman 46 yang menyatakan bahwa kontak erat hanya dites usap bila muncul gejala itu sebaiknya tidak diikuti.

4. Optimalkan kapasitas tes

Terkait dengan poin sebelumnya, kurangi sedapat mungkin tes mandiri untuk orang-orang tanpa gejala dan bukan kontak erat dengan kasus (mis. pelaku perjalanan), supaya kapasitas tesnya dapat dioptimalkan untuk:

  • Pasien-pasien bergejala yang datang ke RS
  • Semua kontak erat kasus baru
  • Surveilans ILI di faskes

5. Pertimbangkan pendekatan “stick and carrot” (hukuman dan insentif)

Sebagai contoh, berikan tunjangan bagi pekerja sektor informal yang harus menjalani karantina dan menghukum orang-orang yang melanggar perintah karantina atau tidak melakukan 3M, serta tempat-tempat usaha dan industri yang melanggar aturan PSBB.

Data kami menunjukkan bahwa DKI Jakarta pernah hampir mencapai RLI = 10 sepanjang Juni 2020, sebelum menurun drastis di bulan Juli bila orang-orang kontak erat (merah) dimasukkan dalam perhitungan RLI.  Artinya, apabila kontak erat dapat dites dan dikarantina dengan benar, RLI dapat hampir menyentuh angka 10. Bila ini tercapai, kemungkinan transmisi di komunitas dapat dibatasi akan semakin baik dan mungkin dapat berujung pada memuncaknya kasus harian akan memuncak sebelum akhirnya melandai dan menurun. Besar harapan kami PSBB kedua akan lebih berhasil daripada PSBB pertama. Rekomendasi di atas juga kami tujukan bagi provinsi-provinsi lain masih memiliki RLI di bawah 10 (Tabel 1).

Diagram 7. Perbandingan RLI DKI Jakarta dengan dan tanpa mengisolasi kontak erat

Tabel 1. RLI provinsi di Indonesia hingga September 2020