Lanjut ke konten

Seri Penyintas COVID-19: Ibu dan Anak Sesama Dokter Tertular dan Sembuh dari COVID-19

Seorang dokter gigi (ibu) dan dokter umum (anak) terpapar COVID-19 di fasilitas kesehatan pada waktu yang berlainan. Meski gejalanya ringan, masa isolasi terasa berat. Belum lagi tuduhan yang diterima dari keluarga pasien bahwa COVID-19 ini konspirasi RS.

Kawal COVID-19's Avatar
Kawal COVID-19Tim administrator situs KawalCOVID19.id

Penulis: dr. Disa Edralyn (dokter umum bagian intensive care di salah satu RS di Jakarta) 

Kisah Ibu

Beberapa bulan lalu, ibu saya positif tertular COVID-19. Ibu saya adalah seorang dokter gigi di salah satu Puskesmas di Jakarta. Beliau memang tidak lagi menangani pasien gigi sebulan terakhir sebelum terkena COVID-19, tetapi masih datang ke Puskesmas setiap hari dan berkontak dengan pasien serta tenaga kesehatan lain.

Dua minggu sebelum terdiagnosis, beliau mengeluh tidak enak badan, lemas, dan nyeri otot. Tidak ada demam (suhu tertinggi hanya 37.6oC), maupun batuk, pilek, dan sesak napas. Pertama kali melakukan cek lab, tidak ada kelainan yang berarti. Rapid test pun nonreaktif. Setelah saya beri pengobatan simptomatik, antibiotik, tidak ada perubahan yang signifikan dan hasil lab menyatakan kadar infeksi meningkat. Akhirnya, rapid test diulang dan hasilnya reaktif. Kami pun melanjutkan dengan swab, dan hasilnya positif. Bersamaan dengan ini, beberapa tenaga kesehatan di Puskemas ibu dinyatakan positif. Sementara itu, saya dan ayah yang tinggal serumah dengan ibu, dinyatakan negatif. 

Saat itu kasus COVID-19 di Indonesia mulai meningkat, dan RS rujukan mulai penuh. Dengan berbagai pertimbangan, saya memutuskan untuk merawat ibu di rumah karena gejalanya ringan dan agar saya bisa memberikan dukungan mental untuk beliau. Mulailah kami sekeluarga menjalani isolasi mandiri di rumah dengan ketat. Ayah mulai bekerja dari rumah. Saya pun dicutikan dari RS untuk isolasi selama 14 hari akibat riwayat kontak erat dengan ibu (pasien COVID-19). Kami bertiga tidur di kamar terpisah. Ibu diisolasi di kamar beliau dan beraktivitas sendirian di dalam kamar, mulai dari makan, mandi, sampai cuci baju. Ibu juga menjalani pengobatan COVID-19 sesuai hasil konsultasi dengan dokter paru. 

Selama satu minggu menjalani pengobatan, napas ibu kadang-kadang terasa berat, tapi untungnya tidak sampai mengganggu kadar oksigen. Saya pun masuk ke kamar ibu tiga kali sehari menggunakan APD lengkap yang bisa dipakai di rumah (hair cap, masker N95, surgical mask, dan sarung tangan). Setelah keluar dari kamar beliau, saya selalu mandi dan keramas. Sungguh sedih dan was was rasanya merawat beliau. Kalau biasanya kami sering berkumpul, sekarang semua harus membatasi kontak dengan anggota keluarga sendiri.

Ibu menjalani tes swab ulang 14 hari setelah pengobatan. Gejala sudah tidak ada, tapi ternyata hasil swab masih positif. Jangan ditanya bagaimana perasaan kami sekeluarga. Sedih, kacau, marah, bingung, semua jadi satu. Bagaimana mungkin masih positif? Semua obat sudah selesai diminum, dan gejala sudah lenyap. Setelah konsultasi ke dokter paru, kami memutuskan untuk melanjutkan isolasi dan menunggu satu minggu lagi untuk swab ulang. Puji Tuhan, saat swab ulang tiga minggu setelah pengobatan, ibu dinyatakan sembuh setelah dua kali berturut-turut swab dan hasilnya negatif. Butuh hampir sebulan bagi ibu untuk sembuh dari COVID-19. Setelah swab dinyatakan negatif, kami melanjutkan isolasi mandiri selama tujuh hari dan baru bisa berkumpul lagi. 

Kisah Saya

Tiga bulan berlalu sejak ibu dinyatakan sembuh dari COVID-19. Saya sudah kembali bekerja dan menangani critical care di IGD. 

Di akhir bulan Juli, ICU sedang penuh-penuhnya. Suatu kali, ada pasien masuk dengan kadar saturasi oksigen yang turun sampai 80% dan laju napas meningkat 30x/menit, tapi pasien sendiri tidak pernah merasa sesak. Pasien punya riwayat bepergian ke luar kota. Kami di tim medis sudah curiga bahwa kasus ini terindikasi COVID-19. Pasien pun menjalani tes swab. Selama menunggu hasil swab, saya berjaga dengan APD lengkap level 3. 

Keluar dari ruang isolasi, saya memberikan edukasi dan berdiskusi dengan keluarga pasien. Saya menyarankan agar pasien dirujuk ke RS rujukan COVID-19 yang mempunyai ICU isolasi dengan backup ventilator karena RS tempat saya bekerja tidak memiliki ICU isolasi. Keluarga pasien masih menyangkal dan tidak percaya, bahkan sempat menuduh anjuran saya sebagai konspirasi RS. Salah siapa kalau mereka berpikir begitu? Saya menyalahkan media dan orang-orang yang tidak bertanggung jawab dalam menyebarkan misinformasi sehingga tenaga medis di lapangan yang harus pontang-panting meyakinkan betapa bahayanya kondisi pasien yang perlu tatalaksana lebih lanjut. 

Dua, tiga hari setelah berkontak dengan pasien tersebut, saya mulai merasa lemas, pilek, dan sakit kepala yang tidak kunjung hilang bahkan dengan istirahat dan obat analgetik. Karena ibu saya sudah kembali bekerja, saya iseng melakukan swab tenggorokan di Puskesmas ibu saya. Tiga hari kemudian, hasilnya keluar dan saya dinyatakan positif. Tentu saja saya sedih meski tetap tenang. Saya malah sempat berpikir mungkin hanya menunggu waktu saja sampai semua tenaga kesehatan terpapar COVID-19. Lihat saja bagaimana tenaga kesehatan mulai kewalahan, pasien semakin banyak, dan masyarakat semakin tak acuh. Walaupun sudah pakai APD lengkap, risiko masih mengintai, misalnya saat melepas APD dengan lalai atau berinteraksi dengan keluarga pasien yang tidak jujur seperti kisah nakes di Yogyakarta ini

Walaupun bergejala ringan, saya memutuskan untuk rawat inap agar tidak mengontaminasi rumah. Selama enam hari dirawat, saya memang tidak pernah demam sampai 38 oC, tapi pusingnya luar biasa. Seluruh badan rasanya ngilu, hidung pilek, dan napas pun terasa berat. Saya dirawat oleh dokter paru dan diberikan pengobatan sesuai protap COVID-19. Beruntung, setelah lima hari pengobatan, swab ulang dilakukan, dan hasilnya negatif. Saya pun diizinkan pulang ke rumah tapi harus isolasi mandiri selama tujuh hari sambil memantau gejala. Kini saya sudah selesai isolasi dan kembali bekerja.

Dari dua cerita di atas, saya ingin berpesan bahwa COVID-19 itu nyata. Tidak pernah ada tenaga kesehatan yang mengada-ada dan “menciptakan” COVID-19. Jadi tolonglah, tetap jalankan protokol kesehatan dan sebisa mungkin tidak berinteraksi di tempat ramai. Saya dan ibu beruntung terkena COVID-19 dengan gejala ringan. Namun, COVID-19 ini gejalanya sangat beragam, dari yang sangat ringan sampai sangat berat (baca cerita penyintas lain di sini). Tidak jarang saya menemukan kasus pasien gejala berat tapi sekeluarga masih menyangkal sehingga menghambat penanganan pasien. Pandemi ini masih akan lama berlangsung. Mari sama-sama bertanggung jawab untuk menjaga kesehatan masing-masing dan orang tercinta.