Kumpulan Cerita Penyintas COVID-19
Berikut kisah penyintas COVID-19 yang berhasil kami kumpulkan selama ini.
Masih banyak di sekitar kita yang meragukan kalau COVID-19 itu nyata. Ini bisa dimengerti, apalagi karena cerita kesaksian orang-orang yang pernah mengalaminya sangat jarang ditemukan di media. Untuk itulah, kami menghadirkan kisah para penyintas, yakni mereka yang pernah menderita COVID-19 dan sembuh. Usia, profesi, jenis kelamin, dan kondisi kesehatan mereka sebelum dan setelah COVID-19 berlainan. 19. Anak Kami Tertular COVID-19 di Sekolah – bagian 2
Saya ingin membagi pengalaman kami sekeluarga untuk menjadi penyemangat teman-teman yang orang tua dan keluarganya terkena COVID-19. Kisah oleh @anindya_hafsa
Penulis merasakan gejala yang mirip flu setelah pulang dari Bandung mengunjungi keluarganya. Ternyata penulis positif dan hampir seluruh keluarganya terinfeksi COVID-19. Penulis menceritakan perjalanan perawatannya selama di RS.
Setelah bertugas sebagai panitia KPPS (yang menyiapkan Pilkada di TPS masing-masing), penulis mengalami demam tinggi. Hasil rapid test non-reaktif, dan diagnosa pertama adalah typhus. Setelah beberapa hari di RS, kondisi tidak membaik dan hasil rontgen paru-paru menunjukkan infeksi COVID-19 yang divalidasi dengan hasil swab PCR positif.
Cerita Juno, penyintas COVID-19 yang mengalami gejala Long COVID.
Ketika berkumpul bersama keluarga, protokol kesehatan sering terlupakan dan menjadi celah penularan COVID-19. Penulis menceritakan kronologi terpaparnya dia dan keluarganya oleh COVID-19 sehingga merayakan Natal di Wisma Atlit
Kondisi COVID-19 di UK saat ini, walaupun lockdown diberlakukan namun sekolah tetap dibuka. Dan tanpa kewajiban menggunakan masker bagi siswa dan guru
Benarkah sekolah sudah aman untuk dibuka? Bagaimana jika ada yang positif di sekolah?
Penulis dan keluarganya bergejala ringan tapi baru terbukti positif COVID-19 setelah swab kedua. Ia juga mempertanyakan kenapa data kasus positif tidak bertambah padahal keluarganya positif.
Bulan Maret 2020, penulis terpapar COVID-19 dengan gejala kritis. Di awal Juli 2020, penulis kembali terkena COVID-19 tapi tanpa gejala, beserta dengan istri dan anaknya. Cerita ini adalah contoh bagaimana seseorang bisa terkena COVID-19 lebih dari sekali (reinfeksi).
Dua orang asisten rumah tangga penulis positif COVID-19 meski tinggal di rumah saja dan hanya keluar untuk keperluan tertentu. Salah satunya meninggal dunia dua hari sejak gejala awal muncul. Pengalaman ini adalah contoh bagaimana rumah bisa menjadi klaster penyebaran.
Seorang penyintas di Surabaya mengalami COVID-19 sekaligus demam berdarah. Selama berhari-hari, kondisinya kritis dan nyawanya bergantung pada ventilator. Ia selamat tapi kehilangan nenek tercinta akibat COVID-19.
Seorang dokter gigi (ibu) dan dokter umum (anak) terpapar COVID-19 di fasilitas kesehatan pada waktu yang berlainan. Meski gejalanya ringan, masa isolasi terasa berat. Belum lagi tuduhan yang diterima dari keluarga pasien bahwa COVID-19 ini konspirasi RS.
Lima minggu setelah dinyatakan sembuh dari COVID-19, ayah dari penulis masih terus sesak napas dan memakai masker oksigen di rumah.
Belum usai berduka setelah kerabatnya meninggal dunia akibat COVID-19, penulis terkonfirmasi positif. Dengan kesabaran selama perawatan di ruang isolasi RS, ia pun sembuh dan telah mendonorkan plasma darah untuk membantu pasien COVID-19 lain dengan kondisi kritis.
Akibat kebohongan satu orang, sedikitnya tujuh orang tim medis dan non-medis di RS rujukan COVID-19 di Yogyakarta terinfeksi.
Sepulang dari Inggris, penulis mengalami anosmia (kehilangan indera penciuman). Selama tiga bulan lamanya, ia dinyatakan positif COVID-19 dengan total 10 tes swab.
Seorang dokter di usia produktif di Bali terpapar COVID-19 dengan kondisi kritis. Kisahnya menyadarkan bahwa seseorang yang tahu betul soal dunia medis dan berusia relatif muda tidak serta merta kebal dari virus.
Seorang penyintas COVID-19 tanpa gejala serius menceritakan hari-hari selama isolasi dan pesan pentingnya bagi pasien lain.